Pengertian dan Sejarah Rasmul Qur’an
Rasmul Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm
Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa
khlalifah bin Affan. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan
al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis
dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang
terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits.
Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu.
Sejarah rasmul qur’an
1. Pemeliharan dan pengumpulan ayat-ayat
al-Qur’an di masa Rasulullah:
a. Hafalan
b. Tulisan-tulisan (berserak)
2. Di masa Abu Bakar tulisan berserak, baik di
pelepah kurma, kulit, batu, dikumpulkan jadi satu, yang pengumpulan ini
sekaligus ditertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya (atas perintah Abu Bakar).
3. Ketika Utsman bin Affan menjadi khalifah,
islam telah tersiar sampai ke Syam, Irak dan lain-lain.
Ketika Utsman mengerahkan tentara ke Syam dan
Irak untuk menghadapi penduduk Armenia dan Azzerbaiyan, datanglah shahabat
Mudzaifah memberitahukan bahwa kaum muslimin di negara-negara islam terjadi
perselisihan bacaan ayat-ayat al-Qur’an.
Di Madinah, anak-anak kaum muslimin cekcok
bacaan Al-Qur’an hingga kepada para guru-gurunya
Maka Utsman meminta mushaf yang ditulis pada
masa Abu Bakar kepada Hafsah binti Umar yang menyimpannya untuk disalin, lalu
dibentuklah panitia/tim:
1.
Zaid Ibnu
Tsabit (sebagai ketua)
2.
Abdullah Ibn
Zubair
3.
Said Ibn Ash
4.
Abd al-Rahman
Ibn Haris.
B. Dasar-dasar Rasmul Qur’an
1. Lajnah Ruba’iyah yaitu panitia empat
yang ditunjuk khalifah Utsman untuk menyalin beberapa mushaf, telah menempuh
suatu sistem/metode yang telah disetujui oleh kholifah.
Sistem/metode ini diistilahkan ulama dengan
RASM AL-MUSHAF.dan jika dinisbahkan kepada khalifah, mereka mengatakan RASM
USTMANI. Rasm ini mendapat kedudukan tinggi, karena khalifah telah
menyetujuinya dan menetapkan pelaksanaannya. Bahkan ada yang menetapkan bahwa
Rasm Ustmani adalah RAMS TAUQIFI yang cara penulisannya ditentukan oleh Nabi
sendiri.
2. Ibn al-Mubarak menyalin dalam kitabnya
al-Ibriz dari gurunya Abd al-Aziz al-Dabbagh:
“Shahabat atau orang lain tidak turut campur
dalam menentukan cara penulisan al-Qur’an dan menetapkan tulisan untuk itu. Hal
ini adalah semata-mata menurut ketentuan yang ditetapkan Nabi. Beliau yang
menyuruh shahabat menulisnya dalam bentuk yang terkenal ini, dengan menambah
alif atau menguranginya, karena ada rahasia yang tidak dapat dacapai oleh
akal.”
3.Al-Zaqani pengarang kitab al-Manahil al-Irfan
menyatakan : “Sebagian dari keistimewaan Rasm Utsman ialah Rasm itu menunjukkan
kepada makna yang tersembunyi, seperti tambahan “ ي “ pada kalimat “ اَيْيدٍ ” pada firman
Allah :
وَالسَّمَاءَ
بَنَيْنٰهَا بِاَيْيدٍ وَّاِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan
(tangan-tangan) Kami dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”. (al-Dzariyat. 51:47)
Yang ditulis dengan “dua ي “ .Ini menunjukkan
bahwa kekuatan Allah tidak dapat disamai oleh sesuatu kekuatanpun ;
4. Berbeda dengan Ibn al-Mubarak dan
al-Zarqani, Prof. Dr. Subkhi al-Shalih menyatakan :
“Tidak diterima akal bahwa urusan rasm adalah
TAUQIFI dan tidak pula mengandung rahasia yang dikandung oleh Fawatih al-Suar.
Tidak ada hadits shahih menerangkan hal ini dan tidak dapat membandingkan hal
ini dengan fawatih al-suar. Sebenarnya PARA PENULIS-lah yang telah
mempergunakan istilah ini di masa Utsman dan disetujui beliau”
1.
Abu Bakar
al-Baqillani : “Boleh menyalahi Rasm Utsmani, Rasm itu adalah “ISTILAHI”, bukan
tauqifi” Sunnah menunjukkan kepada boleh kita rasamkan al-Qur’an dengan
mana yang mudah, karena Rasulullah tidak mengharuskan secara khusus dalam
menulis mus’haf dan tidak melarang seorang menulisnya. Oleh karena itu
berbeda-beda tulisan mus’haf. Ada yang menulis kalimat menurut makhraj lafadz,
ada yang menambah dan mengurangi.
C. Kaidah-Kaidah Rasmul Qur’an
Para ulama meringkas kaidah yang digunakan
dalam rasmul qur’an menjadi enam istilah, yaitu :
1.
Al–Hadzf(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf).
Contohnya, menghilangkan huruf alifpada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س
).
2.
Al
– Jiyadah (penambahan),
seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau
yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah
marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu (
تالله تفتؤا).
3.
Al
– Hamzah, Salah satu
kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis
dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
4.
Badal
(penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai
penghormatan pada kata (الصلوة).
5.
Washal dan fashl(penyambungan dan
pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis
dengan disambung ( كلما ).
6.
Kata yang dapat
di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya
disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan
kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين
). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkanalif(yakni dibaca dua alif),
boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).[1]
D. Pendapat Ulama Tentang Rasmul Qur’an
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa keharusan
kita mengikuti rasm Utsmani adalah untuk memelihara persatuan, supaya tetap
berpegang satu syiar dan satu istilah. Karena pembuat keputusan adalah Utsman
dan pelaksananya Zaid Ibn Tsabit, seorang penulis wahyu dan kepercayaan Rasul.
2.Ahmad Ibn Hambal berkata :
تَحْرُمُ
مُخَالَفَةُ خَطِّ مُصْحَفِ عُثْمَانَ فِى وَاوٍ اَوْاَلِفٍ .اَوْيَاءٍ اَوْغَيْرِ
ذَلِكَ
“Haram menyalahi tulisan Mus’haf Utsman, baik
pada waw, alif, ya’ atau yang lain”
3. Imam Malik berpendapat mengenai orang yang
menulis al-Qur’an dengan Qaidah Hijaiyyah (Qaidah Imla’) :
. لاَ أَرٰى ذٰلِكَ
وَلٰكِنْ يُكْتَبُ عَلَى الْكَتْبَةِ الْاُولٰى
“Saya tidak berpendapat demikian, akan tetapi
hendaklah ditulis menurut tulisan pertama”
E. Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’ah
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai
satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia
dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam
pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu
belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan
belum ada baris harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa
keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih
membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan
dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan
Qira’at sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap
semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang
terkandung di dalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad
Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh
orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan
tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an
dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rasmul qur’an atau rasmul ustmani adalah tata
cara menuliskan Al-qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah ustman bin affan
dengan kaidah-kaidah tertentu.
Hubungan antara rasmul qur’an dan qira’ah
sangat erat sekali Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin
sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung
didalam Al-qur’an.Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf
‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang
untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih
terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Orang Awam Tidak Dapat Membaca Al-Qur’an
Menurut Rasm Dahulu. Maka Wajiblah Ditulis Menurut Perkembangan Masyarakat.
Akan Tetapi Rasm Utsmani Jangan Dihilangkan; Karena Jika Kita Menghilangkannya
Berarti Mencoba Mencemarkan Rumus Keagamaan Yang Telah Disepakati Dan Yang
Telah Memelihara Umat Dari Persengketaan
1.
Kritik
dan saran
Dari pemaparan kami di atas mungkin banyak
kekeliruan atau kesalahan dalam penuliasan,oleh karna itu kami mohon kritik dan
sarannya agar kami bisa belajar dan memperbaiki kesalahan kami. Atas
kekurangannya kami mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon, 2008.Ulumul Qur’an untuk
IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Anwar Rosihon, 2004.Ulumul Qur’an untuk
IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Ash – shabuni,moh,ali.1983.Pengantar ilmu
Al-qur’an.Surabaya.Al ihlas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Qira’at
Secara etimologi, term qira’at seakar dengan term al-qur’an, yaitu
akar kata dari kata qara’a yang berarti tala (membaca). Term qira’ah merupakan
bentuk masdar (verbal noun)
dari kata qara;a, yaitu artinya bacaan.[1]
Sedangkan secara termenologi, terdapat berbagai ungkapan atau
redaksi yang dikemukakan oleh para ulama, sehubungan dengan pengertian qira’at
ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah. Periode
qurra’(ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan al-qur’an kepada
orang-orang menurut cara mereka masing-masing dengan berpedoman kepada masa
para sahabat. Maka ada beberapa
definisi yang diintrodusir para ulama diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut
Az-Zarkasyi:
إختلاف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها.
Artinya:
“Qira’at adalah perbedaan perbedaan
(cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau
cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif (meringankan) tastqil
(memberatkan),dan atau yang lainnya.[2]
2. Menurut
As-Shabuni:
مدهب من مدهب النطق فى القرأن يدهب به امام من الأئمة بأسا نيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya:
“Qira’at adalah suatu madzhab pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah
seorang imam berdasarkan
sanad-sanad yang bersambung kepada rasul.[3]
3. Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu
ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang
menyangkut persoalan lughat,I’rab,itsbat,fashl, dan washal yang kesemuanya
diperoleh secara periwayatan.[4]
Dari definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-qur’an itu berasal
dari Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql. Maksud dari al-sima’ disini
sebagian ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah qira’at yang
diperoleh dengan cara langsung mendengar dari Nabi Saw. Sementara yang dimaksud
dengan al-naql yaitu qira’at yang diperoleh melalui riwayat yang menyatak bahwa
qira’at itu dibacakan Nabi Saw.
Selain itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi qira’at
dengan madzhab atau imam qira’at tertentu, selaku pakar qira’at yang
bersangkutan,dan atau yang mengembangkan serta mempopulerkannya.
Sehubungan
dengan penjelasan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan
suatu qira’at al-qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada
orang-orang sesudanya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut.[5]
1. القرأت :Suatu istilah,
apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam tertentu
seperti, qira’at Nafi.
2. الرواية :Suatu istilah,
apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dan
imamnya, seperti,riwayat Qalun dan Nafi’.
3. الطريق:Suatu
istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi
qira’at dariperawi lainnya,seperti Thariq Nasyit dan Qalun.
4. الوجه :Suatu
istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an
berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Informasi tentang qira’at diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui
pendengaran (sima’) dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenau bacaan
ayat-ayat al-qur’an, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi
sesudanya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh
melalui hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.
B. Macam-Macam Qira’at
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada beberapa macam,
ada yang mutawatir,ahad dan syaz. Menurut mereka, qira’at mutawatir ialah
qira’at yang tujuh, Sedangkan qira’at ahad ialah tiga qira’at yang
menggenapkannya menjadi sepuluh qira’at para sahabat. Dan selain itu adalah
qira’at syaz,dan ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa qira’at yang sepuluh
dinamakan qira’at mutawatir karna yang menjadi pegangan dalam hal ini baik dalam qira’at yang
termasuk qira’at tujuh,qira’at sepuluh maaupun lainnya adalah dabit atau kaidah
tentang qira’at yang shahih.
Menurut sebagian ulama, dabit atau kaidah qira’at yang shahih
adalah sebagai berikut:
a. Qira’at tersebut harus sesuai dengan
kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi,baik segi itu fasih maupun lebih
fasih,sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti diterima apa adanya dan
menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad,bukan ra’yu (penalaran).
b. Qira’at
sesuai dengan salah satu mushaf usmani,meskipun hanya sekedar
mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah
bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan
bermacam-macam dialek qira’at yang
mereka ketahui.
c. Qira’at itu harus shahih sanadnya
sebab qira’at merupakan sunnah yang
diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam dabit bagi qira’at yang
sahih. Apabila ke tiga syarat ini telah terpenuhi maka, qira’at tersebut adalah
qira’at sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qira’at
itu dinamakan qira’at yang lemah,syaz atau batil.
Yang mengherankan sebagian para ulama ialah bahwa sebagian ahli
nahwu masih juga menyalahkan qira’ah sahih yang telah memenuhi syarat-syarat
tersebut hanya semata-mata qira’at tersebut bertentangan dengaan kaidah-kaidah
ilmu nahwu yang mereka jadikan tolak ukur bagi kesahihan bahasa.Seharusnya
qira’at yang sahih itu dijadika sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah
nahwu dan kebahasaan,bukan sebaiknya kaidah ini dijadikan pedoman bagi
al-qur’an. Hal ini karna al-qur’an adalah sumber pertama dan pokok pengambilan
kaidah-kaidah bahasa, sedang qur’an sendiri didasarkan pada kesahihan
penukilandan riwayat yang menjadi landasan pada qari’, bagaimana pun juga
adanya, Ibnu Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama qira’at
yang sahih ini menegaskan,” kata-kata dalam kaidah diatas meskipun dalam satu
segi, yang kami maksudkan satu segi adalah satu segi dari ilmu nahwu. Baik segi
itu fasih maupun lebih fasih,disepakati maupun diperselisihkan.
Berkata Abu ‘Amr ad-Dani, ” para imam qira’at tidak memperlakukan
sedikitpun huruf-huruf al-qur’an. Menurut aturan yang paling populer dalam
dunia kebasaan
dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap
(tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan adalah aturan kebahasaan dan
popularitas bahasa tidak menolak dan mengingkarinya. Sebab qira’at adalah
sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber
acuan. “Zaid bin tsabit berkata, “ Qira’at adalah ssunnah muttabi’ah yaitu sunnah yang harus diikuti.”[6] Maksud
perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal
qiraa’at al-qur’an merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti,tidak boleh
menyalahi qira’at-qira’at yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa
arab.”
Nawawi dalam syarah al-muhazzab berkata, “ Qira’at yang syaz tidak
boleh dibaca baik didalam maupun diluar shalat,karna ia bukan al-qur’an. Qur’an
hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir , sedang qira’at yang syaz tidak
mutawatir. Seandainya seorang menyalahi
pendapat ini dan membaca qira’at yang syaz, maka ia harus di ingkari bacaannya
baik bacaan itu di dalam maupun diluar shalat. Para fuqaha’ Baghdad sepakat
bahwa orang yang membaca qur’an dengan qira’at yang syaz harus disuruh
bertaubat. Bahkan Ibn’ Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa qur’an
tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syaz dan juga tidak sah shalat
dibelakang orang yang membaca qur’an dengan qira’at syaz itu.”
C. Perbedaan Qira’at
Masalah-masalah yang terkait dengan qira’at di atas berhubungan
dengan perbedaan-perbedaan qira’at. Jika diteliti, perbedaan-perbedaan itu
dapat terjadi pertama, pada tulisan itu sendiri, seperti: 1) perbedaan i’rab,
2) perbedaan harakat baik pada isim maupun fi’il, 3) perbedaan huruf-huruf pada
kata, 4) perbedaan kata-kata dan bentuk tulisan, 5) perbedaan dalam
mendahulukan dan mengakhirkan, 6) perbedaan dalam penambahan dan pengurangan.
Kedua, perbedaan cara atau aturan membacanya, seperti: 1) perbedaan pengucapan
huruf dan harakat seperti takaran madd, takhfif, tafkhim, imalah, isymam dan
lain-lain, 2) perbedaan tempat waqaf
Perbedaan qira’at dalam al-Qur’an ini adakalanya berpengaruh pada
perbedaan makna yang dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan Khalid Abd
al-Rahman
al-‘Ak lebih tegas menyatakan bahwa perbedaan qira’at ada yang berpengaruh pada
tafsir –bukan hanya makna– dan ada yang tidak. Ia menjelaskan bahwa yang tidak
berpengaruh pada tafsir yaitu perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti
takaran mad, takhfif, imalah, dsb. Sedangkan yang berpengaruh
pada tafsir terbagi dua, yaitu:
1.Perbedaan dalam huruf atau kata, seperti pada : مَالَكَ - مََلَكَ
2.
Perbedaan dalam harakat fi’il, seperti pada يَصَدُّوْنَ – يَصُدَّوْنَ dan يََطَّهَّرْنَ
- يَطْهُرْنَ
Pada beberapa contoh, pembagian ini memang telah memadai. Namun, bila kita menemui adanya kedua jenis perbedaan di atas pada ayat-ayat lain namun tidak ditemui akibat dari tesis yang dimaksud, hal ini menandakan bahwa kesimpulan al-‘Ak belum finish.
Misalnya saja kataكُفوٌ ُا yang mempunyai versi qira’at lain seperti - كُفْؤًا – كًفًؤ ketiganya mempunyai makna sama yaitu: setara atau sebanding. Ini berart perbedaan huruf atau kata tidak selamanya berpengaruh pada tafsir.
Pada beberapa contoh, pembagian ini memang telah memadai. Namun, bila kita menemui adanya kedua jenis perbedaan di atas pada ayat-ayat lain namun tidak ditemui akibat dari tesis yang dimaksud, hal ini menandakan bahwa kesimpulan al-‘Ak belum finish.
Misalnya saja kataكُفوٌ ُا yang mempunyai versi qira’at lain seperti - كُفْؤًا – كًفًؤ ketiganya mempunyai makna sama yaitu: setara atau sebanding. Ini berart perbedaan huruf atau kata tidak selamanya berpengaruh pada tafsir.
Ibrahim
Al-Abyari mengemukakan bahwa ada tiga hal yang terkait dengan masalah qira’at
al-Qur’an, yaitu: pertama, yang berhubungan dengan huruf-huruf Arab atau
bahasanya. Kedua, yang berhubungan dengan penulisan mushhaf yang dibiarkan
kosong tanpa titik dan tanpa syakal sampai masa Abdul Malik yaitu ketika Hajjaj
menyuruh kepada dua orang yaitu Yahya bin Ya’mar dan Hasan Basri untuk memberi
titik dan harakat, lalu keduanya melaksanakannya. Ketiga, yaitu sesuatu yang
berhubungan dengan penempatan kata di tempat kata yang lain atau mendahulukan
kata atas kata yang lain atau menambah atau mengurangi.
Masalah pertama terkait dengan masalah imalah, isymam, tarqiq,
tafkhim, dan lain sebagainya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pelafalan
kalimat oleh kabilah-kabilah Arab yang masing-masing tidak bisa mengucapkan
seperti yang diucapkan oleh kabilah lainnya. Menurut hemat penulis, perbedaan
ini dapat terjadi baik sebelum dibukukannya al-Qur’an dan dibakukannya tanda
baca (syakal ) maupaun sesudahnya, karena masalah ini terkait pada kebiasaan
yang sulit diubah.
Masalah kedua
terkait pada penentuan i’rab dan standarisasi tulisan (mushhaf) al-Qur’an.
Seperti dikatakan oleh Nasaruddin Umar bahwa dalam prosesstandarisasi rasm
al-Qur’an ditempuh beberapa tahapan. Pertama, ketika al Qur’an
masihberangsur-angsur diturunkan. Setiap ayat yang turun langsung disusun
Nabimelalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui petunjuk
Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui tadarrusan atau bacaan dalam
shalat di depan sahabat. Sampai di sini belum ada masalah, tetapi setelah dunia
Islam melebar ke wilayah-wilayah non-Arab mulailah muncul masalah, karena tidak
semua umat Islam dapat membaca al-Qur’an tanpa tanda huruf dan tanda baca.
Pemberian tanda baca (syakl) pertama kali diadakan pada masa pemerintahan
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680M), terutama ketika Ziyad ibn Samiyyah yang
menjabat Gubernur Bashrah, menyaksikan kekeliruan bacaan dalam masyarakat
terhadap Q.S. al-Taubah (3). Sebelumnya, menurut hemat penulis, penentuan i’rab
banyak ditentukan oleh ijtihad masing-masing pembaca atau menurut riwayat
bacaan yang sampai.
Sedangkan masalah ketiga, penulis cenderung mengatakan bahwa peran
periwayatan bacaan –secara lisan ke lisan sampai kepada Nabi—mempunyai
kontribusi yang sangat besar. Kita tahu bahwa penyampaian al-Qur’an pada
masa-masa awal hanya lewat periwayatan sampai al-Qur’an dihimpun dan
diverifikasi dari periwayatan-periwayatan yang “tidak memenuhi syarat” Sejauh
periwayatan itu shahih dan mutawatir maka, meskipun berbeda dengan mushhaf
Utsmani, tetap diakui keabsahannya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana
lazimnya ayat-ayat al-Qur’an dalam qira’at yang sama pun dapat ditafsirkan
secara berbeda, terlebih lagi ayat-ayat al-Qur’an dalam qira’at yang berbeda.
Hanya saja pada segi-segi tertentu perbedaan qira’at tidak mempunyai pengaruh
apa-apa terhadap penafsiran. Sebagai kesimpulan akhir baik diulas kembali di
sini bahwa perbedaan qira’at pada al-Qur’an adakalanya menyebabkan terjadinya
perbedaan makna dan adakalanya tidak. Perbedaan makna pada qira’at itu akan
berpengaruh terhadap penafsiran. Sebaliknya, tidak adanya perbedaan makna tidak
akan berpengaruh pada penafsiran.
B.
Saran-Saran
Bila qira’at merupakan sebuah ilmu berarti
telah jelas juga bahwa al-qur’an adalah cahaya yang akan menerangi kita dalam
kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita lestarikan dalam
upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan
pokok ajaran al-qur’an.
Pada point di atas penyusun mengharapkan pada para
pembaca untuk senantiasa meningkatkan daya
serta upaya untuk selalu membaca dan membaca, karena disamping membaca adalah
sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi atas keterpurukan yang kita sandang
saat ini.
Bagi para pembaca umumnya, jangan merasa
malas untuk membaca, apapun itu, karena membaca adalah pengiring pertma menuju
ridho-Nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin, Zainal,
Drs, seluk-beluk al-qur’an, Jakarta: Rineka cipt,92.
Ismail,Sya’ban
Muhammad, Dr., Mengenal qira’at al-qur’an,semarang: Bina Utama,1993.
Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an,Semarang Rasial Media group 2008.
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-qur’an, Bulan-Bintang,Jakarta,1972,hlm,145.
Anwar, Rosihon,
prof, Dr, Ulum Al-Qur’an, cv Pustaka setia 2010.
Al-Qaththan,
Manna’ Khalil, Mabahis fi’ulum al-qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2012.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qiraat
Menurut
bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang
artinya : bacaan.
Pengertian
qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan
makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan
diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
Qira’at
menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut
huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif,
tasydid dan lain-lain.
Dari
pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal
al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana
perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at
itu.
Ada
pengertian lain tentang qira’at yang lebih luas daripada pengertian dari
al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani
memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang
imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan
al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu
perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
Ada
beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci
tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan
pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai
berikut :
Qira’at
adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang
tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir,
qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan
Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para
qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua
orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’
atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
Adapun
yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang
mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas.
Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka
disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa
juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.
B. Sejarah
Perkembangan Qiraat
Pembahasan
tentang sejarah dan perkembangan ilmu qira’at ini dimulai dengan adanya
perbedaan pendapat tentang waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua
pendapat tentang hal ini;
Pertama,
qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an.
Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di
mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada
surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai
diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at
mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang
masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya.
Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis
yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an
dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang
disebutkan dalam hadis tersebut--terletak di dekat kota Madinah.
Kuatnya
pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang
diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan
tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam
surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh
huruf.
Ketika
mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik
dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu
qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis
pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup
ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
Periwayatan
dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari
orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at
al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW
kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira’at dari
Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam,
beliau menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut.
Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka
mengambil qira’at dari sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga
berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
Dapat
disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud,
Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
Para
sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa
qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in
mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang
berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Ahli-ahli
qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in
ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah,
Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin
Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn
Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang
tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus,
Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang
tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin
Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said
bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
Sementara
Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim,
Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan
Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan
Khalid bin Sa’d.
Keadaan
ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang
mengkhususkan diri dalam qira’at – qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at
mereka masing-masing.
Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah
menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at adalah
Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab
yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi.
Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat
adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun
378 H. Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri
dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut
Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang
pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin
Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk
puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
Pada
penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam
kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal
siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang
berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat
dimasukkan dalam kitabnya.
Ibn
Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan,
tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam
menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah adalah qira’at sab’ah
oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar
kemampuannya setara dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu
al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah.
Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan,
yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf
sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih
baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar
tidak terjadi syubhat.
Banyak
sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini.
Yang paling terkenal diantaranya adalah : al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i
yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i
karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan
Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati
al-Banna. Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang
membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.
C. Tokoh-tokoh
Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya
Perkembangan
ilmu qiraat demikian pesatnya, sehingga memunculkan banyak tokoh-tokoh ahli
qira’at yang mengabadikan ilmunya dalam bentuk karya tulis. Berikut ini
dipaparkan beberapa tokoh ahli qira’at dengan karya-karyanya, sebagai berikut :
1.
Makki bin Abu Thalib al-Qaisi, wafat pada tahun 437 H
Beliau menyusun
kitab : al-Ibanah ‘an Ma’ani al-Qiraat dan al-Kasyfu ‘an Wujuuhi al-Qiraati
al-Sab’i wa ‘Ilaaliha
2.
Abdurrahman bin Ismail, yang lebih dikenal dengan nama Abu Syaamah, wafat
pada tahun 665 H. Beliau mengarang kitab :Ibraazu Ma’ani min Harzi al-Amani
dan Syarah Kitab al-Syatibiyah
3.
Ahmad bin Muhammad al-Dimyati. Wafat pada tahun 117 H. Beliau menyusun
kitab : Itafu Fudalai al-Basyari fi al- qira’at al-Arba’i ‘Asyar
4.
Imam Muhammad al-Jazari, wafat pada tahun 832 H.
Beliau menyusun
kitab :Tahbir al-Taisir fi al-Qiraat al-‘Asyar min T}ariiqi al-Syatibiyah wa
al-Durrah
5.
Imam Ibn al-Jazari yang menyusun kitab : Taqrib al-Nasyar fi al-Qira’at
al-‘Asyar dan Al-Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar
6.
Husain bin Ahmad bin Khalawaih, wafat pada tahun 370 H.
Beliau menyusun
kitab : al-Hujjatufi Qira’at al-Sab’i dan Mukhtashar Syawaadzi al-Qur’an
7.
Imam Ahmad bin Musa bin Mujahid, wafat pada tahun 324 H.
Beliau menyusun
kitab : Kitab al-Sab’ah
8.
Imam Syatibi, wafat pada tahhun 548 H. Beliau menyusun kitab : Harzu
al-Amani wa Wajhu al-Nahani –Nazam fi Qira’at al-Sab’i
9.
Syaikh Ali al-Nawawi al-Shafaqisi yang menyusun kitab : Ghaitsu al-Nafi’
fi al-Qira’atial-Sab’i
10.
Imam Abu Amr al-Dani, wafat pada tahun 444 H.
Beliau menyusun
kitab : al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’i.
D. Mengenal
Imam-Imam Qiraat
Berikut
ini adalah para imam qira’at yang terkenal dalam sebutan qira’at Sab’ah dan
Qiraat ‘Asyarah , serta qira’at Arba’ ‘Asyara :
1. Nafi’al-Madani
Nama lengkapnya
adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi, maula Ja’unah
bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan. Wafat di Madinah pada tahun 177 H.
Ia mempelajari
qira’at dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi; mereka semua menerima
qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah.
Murid-murid
Imam Nafi’ banyak sekali, antara lain : Imam Malik bin Anas, al-Lais bin Sa’ad,
Abu ‘Amar ibn al-‘Alla’, ‘Isa bin Wardan dan Sulaiman bin Jamaz.
Perawi qira’at
Imam Nafi’ yang terkenal ada dua orang, yaitu Qaaluun (w. 220 H) dan
Warasy (w.197 H).
2. Ibn
Kasir al-Makki
Nama lengkapnya
adalah Abdullah ibn Kasir bin Umar bin Abdullah bin Zada bin
Fairuz bin Hurmuz al-Makki. Lahir di Makkah tahun 45 H. dan wafat juga di
Makkah tahun 120 H.
Beliau
mempelajari qira’at dari Abu as-Sa’ib, Abdullah bin Sa’ib al-Makhzumi, Mujahid
bin Jabr al-Makki dan Diryas (maula Ibn ‘Abbas). Mereka semua masing-masing
menerima dari Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Umar bin Khattab; ketiga
Sahabat ini menerimanya langsung dari Rasulullah SAW.
Murid-murid
Imam Ibn KAsir banyak sekali, namun perawi qiraatnya yang terkenal ada dua
orang, yaitu Bazzi (w. 250 H) dan Qunbul (w. 251 H).
3. Abu’Amr
al-Basri
Nama lengkapnya
Zabban bin ‘Alla’ bin ‘Ammar bin ‘Aryan al-Mazani at-Tamimi al-Bashr. Ada yang
mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Beliau adalah imam Bashrah sekaligus
ahli qiraat Bashrah. Beliau lahir di Mekkah tahun 70 H, besar di Bashrah,
kemudian bersama ayahnya berangkat ke Makkah dan Madinah. Wafat di Kufah pada
tahun 154 H.
Beliau belajar
qira’at dari Abu Ja’far, Syaibah bin Nasah, Nafi’ bin Abu Nu’aim, Abdullah ibn
Kasir, ‘Ashim bin Abu al-Nujud dan Abu al-‘aliyah. Abu al-‘Aliyah menerimanya
dari Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Abbas.
Keempat Sahabat ini menerima qira’at langsung dari Rasulullah SAW.
Murid beliau
banyak sekali, yang terkenal adalah Yahya bin Mubarak bin Mughirah al-Yazidi
(w. 202 H.) Dari Yahya inilah kedua perawi qiraat Abu ‘Amr menerima qiraatnya,
yaitu al-Duuri (w. 246 H) dan al-Suusii (w. 261 H).
4. Abdullah
bin ‘Amir al-Syami
Nama lengkapnya
adalah Abdullah bin ‘Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah al-Yahshabi. Nama
panggilannya adalah Abu ‘Amr, ia termasuk golongan Tabi’in. Beliau adalah imam
qiraat negeri Syam, lahir pada tahun 8 H, wafat pada tahun 118 H di Damsyik.
Ibn ‘Amir
menerima qira’at dari Mugirah bin Abu Syihab, Abdullah bin Umar bin Mugirah
al-Makhzumi dan Abu Darda’ dari Utsaman bin Affan dari Rasulullah SAW.
Di antara para
muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal adalah Hisyam (w. 145 H)
dan Ibn Zakwaan (w. 242 H).
5. ‘Ashim
al-Kufi
Nama lengkapnya
adalah ‘Ashim bin Abu al-Nujud. Ada yang mengatakan bahwa nama ayahnya
adalah Abdullah, sedang Abu al-Nujud adalah nama panggilannya. Nama panggilan
‘Ashim sendiri adalah Abu Bakar, ia masih tergolong Tabi’in. Beliau wafat pada
tahun 127 H.
Beliau menerima
qira’at dari Abu Abdurrahman bin Abdullah al-Salami, Wazar bin Hubaisy al-Asadi
dan Abu Umar Saad bin Ilyas al-Syaibani. Mereka bertiga menerimanya dari
Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud menerimanya dari Rasulullah SAW.
Di antara para
muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal adalah Syu’bah (w.193 H)
dan Hafs (w. 180H).
6. Hamzah
al-Kufi
Nama lengkapnya
adalah Hamzah bin Habib bin ‘Ammarah bin Ismail al-Kufi. Beliau adalah imam
qiraat di Kufah setelah Imam ‘Ashim. Lahir pada tahun 80 H., wafat pada tahun
156 H di Halwan, suatu kota di Iraq.
Beliau belajar
dan mengambil qiraat dari Abu Hamzah Hamran bin A’yun, Abu Ishaq ‘Amr bin
Abdullah al-Sabi’I, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Ya’la, Abu Muhammad Talhah
bin Mashraf al-Yamani dan Abu Abdullah Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir
bin Zainul ‘Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib serta Abdullah bin Mas’ud
dari Rasulullah SAW.
Di antara para
muridnya yang menjadi perawi qira’at -nya yang terkenal adalah Khalaf (w.
150 H) dan Khallad (w. 229 H).
7. Al-Kisa’i
al-Kufi
Nama lengkapnya
adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman al-Nahwi. Nama panggilannya Abul
Hasan dan ia bergelar Kisa’i karena ia mulai melakukan ihram di Kisaa’i. Beliau
wafat pada tahun 189 H.
Beliau
mengambil qira’at dari banyak ulama. Diantaranya adalah Hamzah bin Habib
al-Zayyat, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laia, ‘Ashim bin Abun Nujud, Abu
Bakar bin’Ilyasy dan Ismail bin Ja’far yang menerimanya dari Syaibah bin Nashah
(guru Imam Nafi’ al-Madani), mereka semua mempunyai sanad yang bersambung
kepada Rasulullah SAW.
Murid-murid
Imam Kisaa’i yang dikenal sebagai perawi yang dikenal sebagai perawi
qira’at-nya adalah al-Lais (w. 240 H) dan Hafsh al-Duuri (w. 246 H).
Untuk
melengkapi jumlah qira’at menjadi qira’at ‘Asyarah, maka ditambahkan imam-imam
qira’at berikut ini :
8. Abu
Ja’far al-Madani
Nama lengkapnya
adalah Yazid bin Qa’qa’ al-Makhzumi al-Madani. Nama panggilannya Abu Ja’far.
Beliau salah seorang Imam Qiraat ‘Asyarah dan termasuk golongan Tabi’in. Beliau
wafat pada tahun 130 H.
Beliau
mengambil qiraat dari maulanya, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, Abdullah
bin Abbas dan Abu Hurairah, mereka bertiga menerimanya dari Ubay bin Ka’ab. Abu
Hurairah dan Ibn Mas’ud mengambil qiraat dari Zaid bin Tsabit, dan mereka semua
menerimanya dari Rasulullah SAW.
Murid Imam Abu
Ja’far yang terkenal menjadi perawi qiraatnya adalah Isa bin Wardaan (w. 160 H)
dan Ibn Jammaz (w. 170 H).
9. Ya’qub
al-Bashri
Nama lengkapnya
adalah Ya’qub bin Ishaq bin Zaid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrami
al-Mishri. Nama panggilannya Muhammad. Beliau seorang imam qiraat yang besar,
banyak ilmu,shalih dan terpercaya. Beliau merupakan sesepuh utama para ahli
qiraat sesudah Abu ‘Amr bin al-‘Alla’. Beliau wafat pada bulan Zul Hijjah tahun
205 H.
Beliau
mengambil qiraat dari Abdul Mundir Salam bin Sulaiman al-Muzanni, Syihab bin
Syarnafah, Abu Yahya Mahd bin Maimun dan Abul Asyhab Ja’far bin Hibban
al-‘Autar. Semua gurunya ini mempunyai sanad yang bersambung kepada Abu Musa
al-Asy’ari dari Rasulullah SAW.
Murid sekaligus
perawi dari qiraat Imam Ya’qub yang terkenal adalah Ruwas (w. 238 H) dan Ruh
(w. 235 H).
10. Khalaf
al-‘Asyir
Nama lengkapnya
adalah Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab al-Asdi al-Baghdadi. Nama panggilannya Abu
Muhammad. Beliau lahir tahun 150 H. dan wafat pada bulan Jumadil akhir tahun
229 H. di Bagdad.
Beliau tampil
dengan qiraat tersendiri yang berbeda dengan qiraat dari gurunya Imam Hamzah,
oleh karena itu ia terhitung masuk ke dalam kelompok Imam Qiraat ‘Asyarah
Murid-murid
yang merawikan qiraat Imam Khalaf ini yang terkenal adalah Ishaq (w. 286 H) dan
Idris (w. 292).
Untuk
melengkapi jumlah qiraat menjadi Qiraat Arba’ ‘Asyarah, maka ditambahkan
imam-imam qiraat berikut ini :
11. Hasan
al-Basri
Nama lengkapnya
adalah Hasan bin Abu al-Hasan Yasar Abu Said al-Bashri. Seorang pembesar
Tabi’in yang terkenal zuhud, wafat pada tahun 110 H. Dua perawinya adalah
Syuja’ bin Abu al-Nashr al-Balkhi dan al-Duri.
12. Ibn
Muhaisin
Nama lengkapnya
adalah Muhammad bin Abdurrahman al-Makki. Beliau adalah guru dari Abu ‘Amr
al-Dani, wafat pada tahun 123 H. Dua perawinya adalah al-Bazzi dan Abu al-Hasan
bin Syambudz
13. Al-Yazidi
Nama lengkapnya
adalah Yahya bin Mubarak al-Yazidi al-Nahwi. Beliau adalah guru dari al-Duri
dan Al-Susi, wafat pada tahun 202 H. Dua perawinya adalah Sulaiman bin al-Hakam
dan Ahmad bin Farh.
14. Al-A’masy
Nama lengkapnya
adalah Sulaiman bin Mahram al-A’masy. Beliau termasuk golongan Tabii., wafat
pada tahun 148 H. Dua perawinya adalah al-Hasan bin Said al-Mathu’I dan Abu
al-Farj al- Syambudzi al-Syatwi.
E. Syarat-syarat
Sahnya Qiraat
Para
ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
1. Sesuai
dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai
dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3. Shahih
sanadnya.
Yang
dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak
menyalahi salah satu segi dari segi-segi qawa’id bahasa Arab, baik bahasa
Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak
mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah
tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
Sementara
yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani”
adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis
oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota
besar Islam pada masa itu.
Mengenai
maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap
cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.
Syaikh
Makki bin Abu Talib al-Qaisi menyatakan : “Qiraat shahih adalah qiraat yang
shahih sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, ungkapan kalimatnya sempurna
menurut kaedah tata bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan pada salah satu
mushaf Usmani.” Pendapat ini diikuti oleh Ibnl Jazari, sebagaimana disebutkan
dalam kitabnya Tayyibatun Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar..
Menurut
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pendapat al-Shafaaqasi, pendapat ini lemah
karena membawa akibat tidak adanya perbedaan antara al-Qur’an dengan yang bukan
al-Qur’an.
Akan
tetapi pada kesempatan lain, Ibnl Jazari mensyaratkan mutawatir untuk
diterimanya qiraat yang shahih, seperti disebutkan pada kitabnya Munjid
al-Muqriin wa Mursyid al-Talibin. Jadi, mungkin yang dimaksud dengan
“shahih sanadnya” oleh Ibnl Jazari di sini adalah Mutawatir.
Menurut
Imam al-Nuwairi : “ Meniadakan syarat mutawatir adalah pendapat yang baru,
bertentangan dengan ijma’ para ahli fiqih, ahli hadis dan yang lain-lain. Sebab
al-Qur’an menurut jumhur ulama empat mazhab yang terkemuka adalah kalamullah
yang diriwayatkan secara mutawatir dan dituliskan pada mushaf. Semua
orang yang memegang definisi ini pasti mensyaratkan mutawatir, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibn Hajib. Dengan demikian, menurut para imam dan pemuka mazhab
yang empat, syarat mutawatir itu merupakan keharusan. Banyak orang yang secara
jelas menerangkan pendapat ini seperti Abu Abdul Barr, al-Azra’i, Ibn ‘Athiyah,
al-Zarkasyi dan al-Asnawi. Pendapat yang mensyaratkan mutawatir inipun telah
menjadi ijma’ para ahli qiraat. Tidak ada ulama mutaakhirin yang tidak
sependapat kecuali al-Makki dan beberapa orang lainnya.”
F. Pengaruh
Qiraat Terhadap Istinbat Hukum
Dalam
hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli
dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang berkaitan dengan substansi
lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz tersebut
adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya
berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.
1.
Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum
Qira’at
shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas
serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at membantu penafsiran qira’at
(لَامَسْتُمْ)
dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam Q.S
Al-Nisa’ (4): 43 :
وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Terjemahnya:
"….. Dan
jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air
atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
Ada
perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ
النِّسَاءَ). Ibn Katsir,
Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca
(لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ).
Para
ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai
makna (َامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para
ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َامَسْتُمْ). Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah
dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu,
Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang
dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam
bentuk lainnya.
Ada
sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang
dimaksud dengan (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) adalah sekedar menyentuh perempuan.
Sedangkan maksud dari (امَسْتُمْ) adalah berjima’ dengan perempuan.
Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium
istrinya sebelum berangkat sholat tanpa berwudhu lagi.
Jadi yang dimaksud dengan kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ)
di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas
dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan
sekedar bersentuhan dengan perempuan.
Pendapat
lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit.
Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس)
dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan
bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian
hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qira’at (لمَسْتُمْ), makna
hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.
2.
Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh
terhadap Istinbat Hukum
Berikut ini
adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh
terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Terjemahnya:
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat
di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam
keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah
masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita
tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan
dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (مِنْقَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ), sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi'
membaca: (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak
menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
3. Pemakaian
Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
Tidak
hanya qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat dipergunakan untuk
menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk
membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at
Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir),
dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
Ulama
mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat Syaz sebagai
dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an.
Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak
Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz
sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis
Ahad.
Contoh
penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
1.
Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam
surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا
Artinya:
Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..
Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
2.
Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah
sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat
89, yang berbunyi:
فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ متتلبعات
Artinya :
……….
Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa
selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam qira’at
yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Sya’ban
Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan
sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih
(masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya
(lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat
tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut,
pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal yang sangat
baik.
Pendapat ini
diperkuat dengan pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut :
“Jika
penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar,
yang kemudian menjadi bagian dari qiraat al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir
ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan hukum dari
penafsiran yang dikemukakan Qira’at Syaz ini adalah suatu pengejawantahan yang
dapat dipertanggung jawabkan.”
G. Manfaat
Perbedaan Qiraat
Adanya
bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai
manfaat, yaitu :
1.
Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.
Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal
diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku
yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan
sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu
diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain
yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2. Menunjukkan
betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan,
padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat
menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain,
baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang
menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu
penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي
لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ….
Yang dimaksud
dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa,
tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
4.
Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap
qiraat menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan
lafaz.
5.
Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran
tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا
وَمُلْكًا كَبِيرًا
Dalam
qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga
qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat
wajah Allah di akhirat nanti.
6.
Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad SAW atas
umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan
satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan
beberapa qiraat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan tentang qiraat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai
berikut :
1.
Qira’at Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah adalah
qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan merupakan
bagian dari Sab’atu Ahruf.
2. Qira’at
‘Asyarah adalah shahih dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW,
maka boleh membaca al-Qur’an dengan qiraat manapun diantara salah satu dari
yang sepuluh itu, di luar itu adalah Qiraat Syadz serta tidak boleh dipakai
untuk membaca al-Qur’an.
3. Qira’at,
baik shahih maupun syadz, dapat dipakai untuk menetapkan hukum syar’i,
sebagaimana pendapat jumhur ulama.
4. Umat Islam
sangat mementingkan masalah al-Qur’an beserta qiraatnya yang bermacam-macam itu
sehingga banyak ulama mengkhususkan diri dalam maslah qiraat dengan
mendalaminya, mengajarkannya dan menulis kitab-kitab tentang qiraat. Hal ini
merupakan salah satu upaya untuk menjaga kemurnian al-Qur’an.
5. Perbedaan
qira’at yang ada mempunyai banyak manfaat bagi umat Islam, terutama dalam
memudahkan membaca al-Qur’an dan mengambil hukum dari al-Qur’an.
B. Saran-Saran
Dengan
selesainya makalah ini tentunya masih banyak yang kurang di dalamnyai maka dari
itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari
Bapak dosen yang membawakan mata kuliah ini.
Selanjutnya
selaku Penyusun makalah ini kami hanya memberikan himbauan khususnya kepada
teman-teman mahasiswa karena seperti yang kita ketahui bahwa mahasiswa “agent
social of change dan agent social of control”, maka untuk mengaplikasikannya
itu maka kita dituntut untuk mengadakan inovasi dan tidak lupa kita harus
membenahi diri kekurangan yang ada untuk menuju kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Nur, Muhammad
Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta. Pustaka Amani.
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul Kutub
Al- Islamiyah.
Al-Qattan,
Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Surabaya. Al-hidayah.
Al-Qodi, Abdul
Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar
el-Islam
Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi Terdapat sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan di dalam rams Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Rasmul qur’an merupakan salah satu bagian
disiplin ilmu alqur’an yang mana di dalamnya mempelajari tentangpenulisan
Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan
lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal
juga dengan nama Rasm Utsmani.
Tulisan al-Quran ‘Utsmani adalah tulisan yang
dinisbatkan kepada sayyidina utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul
setelah rampungnya penyalinan al-Quran yang dilakukan oleh team yang dibentuk
oleh Ustman pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini biasanya
di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan kepada Amirul
Mukminin Ustman ra.[16]
Para Ulama berbeda pendapat tentang penulisan
ini, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tulisan tersebut bersifat
taufiqi (ketetapan langsung dari Rasulullah), mereka berlandaskan riwayat yang
menyatakan bahwa Rasulullah menerangkan kepada salah satu Kuttab (juru tulis
wahyu) yaitu Mu’awiyah tentang tatacara penulisan wahyu. diantara Ulama yang
berpegang teguh pada pendapat ini adalah Ibnul al-Mubarak dalam kitabnya
“al-Ibriz” yang menukil perkataan gurunya “ Abdul ‘Aziz al-Dibagh”, “bahwa
tlisan yang terdapat pada Rasm ‘Utsmani semuanya memiliki rahasia-rahasia dan
tidak ada satupun sahabat yang memiliki andil, sepertihalnya diketahui bahwa
al-Quran adalh mu’jizat begitupula tulisannya”. Namun disisi lain, ada beberapa ulama yang
mengatakan bahwa, Rasmul Ustmani bukanlah tauqifi, tapi hanyalah tatacara
penulisan al-Quran saja.
Makalah yang kami buat untuk membahas tentang
pengertian Rasm Al-Qur’an, dan tentang pendapat rasmul qur’an serta kaitannya
dengan qiaraah. Untuk lebih jelasnya pada bab selanjutnya akan dibahas secara
terperinci.
2.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian rasmul
qur’an?
2.
Apa pendapat para ulama
tentang rasmul qur’an?
3.
Bagaimana kaitanya
rasmul qur’an dengan qiraah?
3.
Tujuan
Penulisan
Makalah ini dimaksudkan agar kita lebih mengerti
tentang ilmu al qur’an, khususnya tentang ilmu rasmul qur’an. Dan kami berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya bagi diri kami
sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian
Rasmul Qur’an
Rasmul Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm
Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa
khlalifah bin Affan. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan
al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis
dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang
terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits.
Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu
menjadi enam istilah, yaitu :
1.
Al–Hadzf(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf).
Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
2.
Al
– Jiyadah (penambahan),
seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau
yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah
marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3.
Al
– Hamzah, Salah satu kaidahnya
bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis
dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
4.
Badal (penggantian),
seperti alif ditulis dengan wawu sebagai
penghormatan pada kata (الصلوة).
5.
Washal dan fashl(penyambungan dan
pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis
dengan disambung ( كلما ).
6.
Kata yang dapat di baca
dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan
dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata
semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ).
Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif),
boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).
II.
Pendapat
Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai
status rasmul Al-Qur’an ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul
qur’an bersifat tauqifi.yang mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang
menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang
seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan
huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis
lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz
“Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu
mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung
rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau
lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan
tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para
sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk
tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak
dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi
kitab-kitab suci lainnya”.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa
rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang
disetujui oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati
siapapun yang menulis alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama
terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola
penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang
mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi
(tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya
menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal
dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm
‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama
mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai
rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan
pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada
pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya
dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan
tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
III.
Kaitan
Rusmul Qur’an Dengan Qira’at
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai
satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia
dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam
pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu
belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan
belum ada baris harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa
keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih
membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan
dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan
Qira’at sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap
semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang
terkandung didalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad
Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh
orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan
tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an
dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Rasmul qur’an atau rasmul ustmani adalah tata
cara menuliskan Al-qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah ustman bin affan
dengan kaidah-kaidah tertentu.
Sebagian para ulama berpendapat bahwa rasmul
qur’an bersifat tauqifi, tapi sebagian besar para ulama berpendapat bahwa
rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang
disetujui ustman dan diterima umatnya,sehingga wajib wajib diikuti dan di taati
siapa pun ketika menulis al-qur’an. Tidak boleh ada yang menyalahinya.
Hubungan antara rasmul qur’an dan qira’ah sangat
erat sekali Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin
sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung
didalam Al-qur’an.Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf
‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang
untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih
terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
2.
Kritik
dan saran
Dari pemaparan kami di atas mungkin banyak
kekeliruan atau kesalahan dalam penuliasan,oleh karna itu kami mohon kritik dan
sarannya agar kami bisa belajar dan memperbaiki kesalahan kami. Atas
kekurangannya kami mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon, 2008.Ulumul Qur’an untuk
IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Anwar Rosihon, 2004.Ulumul Qur’an untuk
IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Ash – shabuni,moh,ali.1983.Pengantar ilmu Al-qur’an.Surabaya.Al
ihlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar