A L

ardhi.lizet@yahoo.com @ardhi_lizet ardhi.lizet@gmail.com

Rabu, 15 Juli 2015

Sejarah Rasmul Qur’an



Pengertian dan Sejarah Rasmul Qur’an
Rasmul Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu.
Sejarah rasmul qur’an
1. Pemeliharan dan pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an di masa Rasulullah:
a. Hafalan
b. Tulisan-tulisan (berserak)
2. Di masa Abu Bakar tulisan berserak, baik di pelepah kurma, kulit, batu, dikumpulkan jadi satu, yang pengumpulan ini sekaligus ditertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya (atas perintah Abu Bakar).
3. Ketika Utsman bin Affan menjadi khalifah, islam telah tersiar sampai ke Syam, Irak dan lain-lain.
Ketika Utsman mengerahkan tentara ke Syam dan Irak untuk menghadapi penduduk Armenia dan Azzerbaiyan, datanglah shahabat Mudzaifah memberitahukan bahwa kaum muslimin di negara-negara islam terjadi perselisihan bacaan ayat-ayat al-Qur’an.
Di Madinah, anak-anak kaum muslimin cekcok bacaan Al-Qur’an hingga kepada para guru-gurunya
Maka Utsman meminta mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar kepada Hafsah binti Umar yang menyimpannya untuk disalin, lalu dibentuklah panitia/tim:
1.      Zaid Ibnu Tsabit (sebagai ketua)
2.      Abdullah Ibn Zubair
3.      Said Ibn Ash
4.      Abd al-Rahman Ibn Haris.



B. Dasar-dasar Rasmul Qur’an

1.  Lajnah Ruba’iyah yaitu panitia empat yang ditunjuk khalifah Utsman untuk menyalin beberapa mushaf, telah menempuh suatu sistem/metode yang telah disetujui oleh kholifah.
Sistem/metode ini diistilahkan ulama dengan RASM AL-MUSHAF.dan jika dinisbahkan kepada khalifah, mereka mengatakan RASM USTMANI. Rasm ini mendapat kedudukan tinggi, karena khalifah telah menyetujuinya dan menetapkan pelaksanaannya. Bahkan ada yang menetapkan bahwa Rasm Ustmani adalah RAMS TAUQIFI yang cara penulisannya ditentukan oleh Nabi sendiri.
2. Ibn al-Mubarak menyalin dalam kitabnya al-Ibriz dari gurunya Abd al-Aziz al-Dabbagh:
“Shahabat atau orang lain tidak turut campur dalam menentukan cara penulisan al-Qur’an dan menetapkan tulisan untuk itu. Hal ini adalah semata-mata menurut ketentuan yang ditetapkan Nabi. Beliau yang menyuruh shahabat menulisnya dalam bentuk yang terkenal ini, dengan menambah alif atau menguranginya, karena ada rahasia yang tidak dapat dacapai oleh akal.”
3.Al-Zaqani pengarang kitab al-Manahil al-Irfan menyatakan : “Sebagian dari keistimewaan Rasm Utsman ialah Rasm itu menunjukkan kepada makna yang tersembunyi, seperti tambahan “ ي “ pada kalimat “  اَيْيدٍ ” pada firman Allah :
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْيدٍ وَّاِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (tangan-tangan) Kami dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa”. (al-Dzariyat. 51:47)
Yang ditulis dengan “dua ي “ .Ini menunjukkan bahwa kekuatan Allah tidak dapat disamai oleh sesuatu kekuatanpun ;
4. Berbeda dengan Ibn al-Mubarak dan al-Zarqani, Prof. Dr. Subkhi al-Shalih menyatakan :
“Tidak diterima akal bahwa urusan rasm adalah TAUQIFI dan tidak pula mengandung rahasia yang dikandung oleh Fawatih al-Suar. Tidak ada hadits shahih menerangkan hal ini dan tidak dapat membandingkan hal ini dengan fawatih al-suar. Sebenarnya PARA PENULIS-lah yang telah mempergunakan istilah ini di masa Utsman dan disetujui beliau”
1.      Abu Bakar al-Baqillani : “Boleh menyalahi Rasm Utsmani, Rasm itu adalah “ISTILAHI”, bukan tauqifi”  Sunnah menunjukkan kepada boleh kita rasamkan al-Qur’an dengan mana yang mudah, karena Rasulullah tidak mengharuskan secara khusus dalam menulis mus’haf dan tidak melarang seorang menulisnya. Oleh karena itu berbeda-beda tulisan mus’haf. Ada yang menulis kalimat menurut makhraj lafadz, ada yang menambah dan mengurangi.

C. Kaidah-Kaidah Rasmul Qur’an

 Para ulama meringkas kaidah yang digunakan dalam rasmul qur’an menjadi enam istilah, yaitu :
1.      Al–Hadzf(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alifpada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
2.      Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3.      Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
4.      Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
5.      Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
6.      Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkanalif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).[1]
D. Pendapat Ulama Tentang Rasmul Qur’an

1. Sebagian ulama berpendapat bahwa keharusan kita mengikuti rasm Utsmani adalah untuk memelihara persatuan, supaya tetap berpegang satu syiar dan satu istilah. Karena pembuat keputusan adalah Utsman dan pelaksananya Zaid Ibn Tsabit, seorang penulis wahyu dan kepercayaan Rasul.
2.Ahmad Ibn Hambal berkata :
تَحْرُمُ مُخَالَفَةُ خَطِّ مُصْحَفِ عُثْمَانَ فِى وَاوٍ اَوْاَلِفٍ .اَوْيَاءٍ اَوْغَيْرِ ذَلِكَ
“Haram menyalahi tulisan Mus’haf Utsman, baik pada waw, alif, ya’ atau yang lain”
3. Imam Malik berpendapat mengenai orang yang menulis al-Qur’an dengan Qaidah Hijaiyyah (Qaidah Imla’) :
. لاَ أَرٰى ذٰلِكَ وَلٰكِنْ يُكْتَبُ عَلَى الْكَتْبَةِ الْاُولٰى
“Saya tidak berpendapat demikian, akan tetapi hendaklah ditulis menurut tulisan pertama”

E. Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’ah

Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung di dalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Rasmul qur’an atau rasmul ustmani adalah tata cara menuliskan Al-qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah ustman bin affan dengan kaidah-kaidah tertentu.
Hubungan antara rasmul qur’an dan qira’ah sangat erat sekali Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-qur’an.Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Orang Awam Tidak Dapat Membaca Al-Qur’an Menurut Rasm Dahulu. Maka Wajiblah Ditulis Menurut Perkembangan Masyarakat. Akan Tetapi Rasm Utsmani Jangan Dihilangkan; Karena Jika Kita Menghilangkannya Berarti Mencoba Mencemarkan Rumus Keagamaan Yang Telah Disepakati Dan Yang Telah Memelihara Umat Dari Persengketaan

1.      Kritik dan saran
Dari pemaparan kami di atas mungkin banyak kekeliruan atau kesalahan dalam penuliasan,oleh karna itu kami mohon kritik dan sarannya agar kami bisa belajar dan memperbaiki kesalahan kami. Atas kekurangannya kami mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar Rosihon, 2008.Ulumul Qur’an untuk IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Anwar Rosihon, 2004.Ulumul Qur’an untuk IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Ash – shabuni,moh,ali.1983.Pengantar ilmu Al-qur’an.Surabaya.Al ihlas.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Qira’at

Secara etimologi, term qira’at seakar dengan term al-qur’an, yaitu akar kata dari kata qara’a yang berarti tala (membaca). Term qira’ah merupakan bentuk  masdar (verbal noun) dari kata qara;a, yaitu artinya bacaan.[1]
Sedangkan secara termenologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama, sehubungan dengan pengertian qira’at ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah. Periode qurra’(ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan al-qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Maka ada  beberapa definisi yang diintrodusir para ulama diantaranya sebagai berikut:

1.      Menurut Az-Zarkasyi:

إختلاف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها.


            Artinya:
           
            “Qira’at adalah perbedaan perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif (meringankan) tastqil (memberatkan),dan atau yang lainnya.[2]

2.      Menurut As-Shabuni:

مدهب من مدهب النطق فى القرأن يدهب به امام من الأئمة بأسا نيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Artinya:

“Qira’at adalah suatu madzhab pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang  imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada rasul.[3]

 3.      Menurut Al-Qasthalani:

“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat,I’rab,itsbat,fashl, dan washal yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.[4]

Dari definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-qur’an itu berasal dari Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql. Maksud dari al-sima’ disini sebagian ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah qira’at yang diperoleh dengan cara langsung mendengar dari Nabi Saw. Sementara yang dimaksud dengan al-naql yaitu qira’at yang diperoleh melalui riwayat yang menyatak bahwa qira’at itu dibacakan Nabi Saw.
Selain itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu, selaku pakar qira’at yang bersangkutan,dan atau yang mengembangkan serta mempopulerkannya.
Sehubungan dengan penjelasan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu qira’at al-qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudanya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut.[5] 
1.      القرأت :Suatu istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam tertentu seperti, qira’at Nafi.
2.      الرواية :Suatu istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dan imamnya, seperti,riwayat Qalun dan Nafi’.
3.      الطريق:Suatu istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dariperawi lainnya,seperti Thariq Nasyit dan Qalun.
4.      الوجه :Suatu istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Informasi tentang qira’at diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’) dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenau bacaan ayat-ayat al-qur’an, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudanya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.

B.     Macam-Macam Qira’at

Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada beberapa macam, ada yang mutawatir,ahad dan syaz. Menurut mereka, qira’at mutawatir ialah qira’at yang tujuh, Sedangkan qira’at ahad ialah tiga qira’at yang menggenapkannya menjadi sepuluh qira’at para sahabat. Dan selain itu adalah qira’at syaz,dan ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa qira’at yang sepuluh dinamakan qira’at mutawatir karna yang menjadi pegangan   dalam hal ini baik dalam qira’at yang termasuk qira’at tujuh,qira’at sepuluh maaupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qira’at yang shahih.
Menurut sebagian ulama, dabit atau kaidah qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:
a.       Qira’at tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi,baik segi itu fasih maupun lebih fasih,sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad,bukan ra’yu (penalaran).
b.      Qira’at sesuai dengan salah satu  mushaf  usmani,meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf  itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at  yang mereka ketahui.
c.       Qira’at itu harus shahih sanadnya sebab qira’at merupakan sunnah  yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam dabit bagi qira’at yang sahih. Apabila ke tiga syarat ini telah terpenuhi maka, qira’at tersebut adalah qira’at sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah,syaz atau batil.
Yang mengherankan sebagian para ulama ialah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qira’ah sahih yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut hanya semata-mata qira’at tersebut bertentangan dengaan kaidah-kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolak ukur  bagi kesahihan bahasa.Seharusnya qira’at yang sahih itu dijadika sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan,bukan sebaiknya kaidah ini dijadikan pedoman bagi al-qur’an. Hal ini karna al-qur’an adalah sumber pertama dan pokok pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang qur’an sendiri didasarkan pada kesahihan penukilandan riwayat yang menjadi landasan pada qari’, bagaimana pun juga adanya, Ibnu Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama qira’at yang sahih ini menegaskan,” kata-kata dalam kaidah diatas meskipun dalam satu segi, yang kami maksudkan satu segi adalah satu segi dari ilmu nahwu. Baik segi itu fasih maupun lebih fasih,disepakati maupun diperselisihkan.
Berkata Abu ‘Amr ad-Dani, ” para imam qira’at tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf al-qur’an. Menurut aturan yang paling populer dalam dunia     kebasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan adalah aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak menolak dan mengingkarinya. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. “Zaid bin tsabit berkata, “ Qira’at adalah ssunnah muttabi’ah  yaitu sunnah yang harus diikuti.”[6] Maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraa’at al-qur’an merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti,tidak boleh menyalahi qira’at-qira’at yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.”
Nawawi dalam syarah al-muhazzab berkata, “ Qira’at yang syaz tidak boleh dibaca baik didalam maupun diluar shalat,karna ia bukan al-qur’an. Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir , sedang qira’at yang syaz tidak mutawatir. Seandainya seorang  menyalahi pendapat ini dan membaca qira’at yang syaz, maka ia harus di ingkari bacaannya baik bacaan itu di dalam maupun diluar shalat. Para fuqaha’ Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca qur’an dengan qira’at yang syaz harus disuruh bertaubat. Bahkan Ibn’ Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa qur’an tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syaz dan juga tidak sah shalat dibelakang orang yang membaca qur’an dengan qira’at syaz itu.” 

C.    Perbedaan Qira’at
Masalah-masalah yang terkait dengan qira’at di atas berhubungan dengan perbedaan-perbedaan qira’at. Jika diteliti, perbedaan-perbedaan itu dapat terjadi pertama, pada tulisan itu sendiri, seperti: 1) perbedaan i’rab, 2) perbedaan harakat baik pada isim maupun fi’il, 3) perbedaan huruf-huruf pada kata, 4) perbedaan kata-kata dan bentuk tulisan, 5) perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan, 6) perbedaan dalam penambahan dan pengurangan. Kedua, perbedaan cara atau aturan membacanya, seperti: 1) perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran madd, takhfif, tafkhim, imalah, isymam dan lain-lain, 2) perbedaan tempat waqaf
Perbedaan qira’at dalam al-Qur’an ini adakalanya berpengaruh pada perbedaan makna yang dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan Khalid Abd
 al-Rahman al-‘Ak lebih tegas menyatakan bahwa perbedaan qira’at ada yang berpengaruh pada tafsir –bukan hanya makna– dan ada yang tidak. Ia menjelaskan bahwa yang tidak berpengaruh pada tafsir yaitu perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran mad, takhfif, imalah, dsb. Sedangkan yang berpengaruh pada    tafsir    terbagi dua,            yaitu:

1.Perbedaan dalam huruf atau kata, seperti pada : مَالَكَ - مََلَكَ
 
2. Perbedaan dalam harakat fi’il, seperti pada يَصَدُّوْنَ – يَصُدَّوْنَ dan يََطَّهَّرْنَ - يَطْهُرْنَ
Pada beberapa contoh, pembagian ini memang telah memadai. Namun, bila kita menemui adanya kedua jenis perbedaan di atas pada ayat-ayat lain namun tidak ditemui akibat dari tesis yang dimaksud, hal ini menandakan bahwa kesimpulan al-‘Ak belum finish.
Misalnya saja kataكُفوٌ ُا yang mempunyai versi qira’at lain seperti - كُفْؤًا – كًفًؤ ketiganya mempunyai makna sama yaitu: setara atau sebanding. Ini berart perbedaan huruf atau kata tidak selamanya berpengaruh pada tafsir.
Ibrahim Al-Abyari mengemukakan bahwa ada tiga hal yang terkait dengan masalah qira’at al-Qur’an, yaitu: pertama, yang berhubungan dengan huruf-huruf Arab atau bahasanya. Kedua, yang berhubungan dengan penulisan mushhaf yang dibiarkan kosong tanpa titik dan tanpa syakal sampai masa Abdul Malik yaitu ketika Hajjaj menyuruh kepada dua orang yaitu Yahya bin Ya’mar dan Hasan Basri untuk memberi titik dan harakat, lalu keduanya melaksanakannya. Ketiga, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan penempatan kata di tempat kata yang lain atau mendahulukan kata atas kata yang lain atau menambah atau mengurangi.
Masalah pertama terkait dengan masalah imalah, isymam, tarqiq, tafkhim, dan lain sebagainya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pelafalan kalimat oleh kabilah-kabilah Arab yang masing-masing tidak bisa mengucapkan seperti yang diucapkan oleh kabilah lainnya. Menurut hemat penulis, perbedaan ini dapat terjadi baik sebelum dibukukannya al-Qur’an dan dibakukannya tanda baca (syakal ) maupaun sesudahnya, karena masalah ini terkait pada kebiasaan yang sulit diubah.
 Masalah kedua terkait pada penentuan i’rab dan standarisasi tulisan (mushhaf) al-Qur’an. Seperti dikatakan oleh Nasaruddin Umar bahwa dalam prosesstandarisasi rasm al-Qur’an ditempuh beberapa tahapan. Pertama, ketika al Qur’an masihberangsur-angsur diturunkan. Setiap ayat yang turun langsung disusun Nabimelalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui tadarrusan atau bacaan dalam shalat di depan sahabat. Sampai di sini belum ada masalah, tetapi setelah dunia Islam melebar ke wilayah-wilayah non-Arab mulailah muncul masalah, karena tidak semua umat Islam dapat membaca al-Qur’an tanpa tanda huruf dan tanda baca. Pemberian tanda baca (syakl) pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680M), terutama ketika Ziyad ibn Samiyyah yang menjabat Gubernur Bashrah, menyaksikan kekeliruan bacaan dalam masyarakat terhadap Q.S. al-Taubah (3). Sebelumnya, menurut hemat penulis, penentuan i’rab banyak ditentukan oleh ijtihad masing-masing pembaca atau menurut riwayat bacaan yang sampai.
Sedangkan masalah ketiga, penulis cenderung mengatakan bahwa peran periwayatan bacaan –secara lisan ke lisan sampai kepada Nabi—mempunyai kontribusi yang sangat besar. Kita tahu bahwa penyampaian al-Qur’an pada masa-masa awal hanya lewat periwayatan sampai al-Qur’an dihimpun dan diverifikasi dari periwayatan-periwayatan yang “tidak memenuhi syarat” Sejauh periwayatan itu shahih dan mutawatir maka, meskipun berbeda dengan mushhaf Utsmani, tetap diakui keabsahannya.

BAB III
PENUTUP
 A. Kesimpulan         
Sebagaimana lazimnya ayat-ayat al-Qur’an dalam qira’at yang sama pun dapat ditafsirkan secara berbeda, terlebih lagi ayat-ayat al-Qur’an dalam qira’at yang berbeda. Hanya saja pada segi-segi tertentu perbedaan qira’at tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap penafsiran. Sebagai kesimpulan akhir baik diulas kembali di sini bahwa perbedaan qira’at pada al-Qur’an adakalanya menyebabkan terjadinya perbedaan makna dan adakalanya tidak. Perbedaan makna pada qira’at itu akan berpengaruh terhadap penafsiran. Sebaliknya, tidak adanya perbedaan makna tidak akan berpengaruh pada penafsiran.
 B. Saran-Saran
Bila qira’at merupakan sebuah ilmu berarti telah jelas juga bahwa al-qur’an adalah cahaya yang akan menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita lestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok ajaran al-qur’an.
Pada point di atas penyusun mengharapkan pada para pembaca        untuk senantiasa meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca, karena disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi  atas keterpurukan yang kita sandang saat ini.
Bagi para pembaca umumnya, jangan merasa malas untuk membaca, apapun itu, karena membaca adalah pengiring pertma menuju ridho-Nya.


DAFTAR PUSTAKA


Abidin, Zainal, Drs, seluk-beluk al-qur’an, Jakarta: Rineka cipt,92.
Ismail,Sya’ban Muhammad, Dr., Mengenal qira’at al-qur’an,semarang: Bina Utama,1993.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an,Semarang Rasial Media group 2008.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-qur’an, Bulan-Bintang,Jakarta,1972,hlm,145.
Anwar, Rosihon, prof, Dr, Ulum Al-Qur’an, cv Pustaka setia 2010.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahis fi’ulum al-qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012.


[1] Lihat,manna al-qaththan,mabahis fi’ulum al-qur’an,(T,tp:t.pn,1973),cet ke-3,h,170
[2] Badr Ad-din muham bin ‘abdillah Az-zarkasyi, Al-Burhan fi’ulum al-qur’an,jilid I,hlm 395.
[3] Muhammad’ Ali Al-Shabuni,Al-Tibyan fi’ulum Al-qur’an.Maktabah Al-Ghazali,Damaskus,1390.hlm,223.
[4] Rujdi Ali Mahmud,”Ilmu Qira’ah”,makalah,1984
[5] Abd hadi al-fadli,op,cit.hlm,84.
[6] Hadis sa’id bin Mansur  dalam sunannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Qiraat
            Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
            Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
            Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.
            Ada pengertian lain tentang qira’at yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
            Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
            Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
            Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
            Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.

B.                 Sejarah Perkembangan Qiraat       
            Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu qira’at ini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang  waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini;
Pertama, qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebut--terletak di dekat kota Madinah.
            Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
            Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
            Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan  orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil qira’at dari  sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda  dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
            Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab,  Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
            Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
            Ahli-ahli qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
            Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
            Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
            Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at – qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.
            Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at  adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H.  Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
            Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
            Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
            Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah  adalah qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara  dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
            Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
            Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah :  al-Taysir fi al-Qiraat al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.  Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.

C.                 Tokoh-tokoh Ilmu Qiraat dan Karya Ilmiahnya
            Perkembangan ilmu qiraat demikian pesatnya, sehingga memunculkan banyak tokoh-tokoh ahli qira’at yang mengabadikan ilmunya dalam bentuk karya tulis. Berikut ini dipaparkan beberapa tokoh ahli qira’at dengan karya-karyanya, sebagai berikut :
1.    Makki bin Abu Thalib al-Qaisi, wafat pada tahun 437 H
Beliau menyusun kitab : al-Ibanah ‘an Ma’ani al-Qiraat dan al-Kasyfu ‘an Wujuuhi al-Qiraati al-Sab’i wa ‘Ilaaliha  
2.    Abdurrahman bin Ismail, yang lebih dikenal dengan nama Abu Syaamah, wafat pada tahun 665 H. Beliau mengarang kitab :Ibraazu Ma’ani min Harzi al-Amani dan  Syarah Kitab al-Syatibiyah
3.    Ahmad bin Muhammad al-Dimyati. Wafat pada tahun 117 H. Beliau menyusun kitab : Itafu Fudalai al-Basyari fi al- qira’at al-Arba’i ‘Asyar
4.    Imam Muhammad al-Jazari, wafat pada tahun 832 H.
Beliau menyusun kitab :Tahbir al-Taisir fi al-Qiraat al-‘Asyar min T}ariiqi al-Syatibiyah wa al-Durrah
5.    Imam Ibn al-Jazari yang menyusun kitab : Taqrib al-Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar  dan Al-Nasyar fi  al-Qira’at al-‘Asyar
6.    Husain bin Ahmad bin Khalawaih, wafat pada tahun 370 H.
Beliau menyusun kitab : al-Hujjatufi Qira’at al-Sab’i dan Mukhtashar Syawaadzi al-Qur’an
7.    Imam Ahmad bin Musa bin Mujahid, wafat pada tahun 324 H.
Beliau menyusun kitab : Kitab al-Sab’ah
8.    Imam Syatibi, wafat pada tahhun  548 H. Beliau menyusun kitab : Harzu al-Amani wa Wajhu al-Nahani –Nazam fi Qira’at al-Sab’i
9.    Syaikh Ali al-Nawawi al-Shafaqisi yang menyusun kitab : Ghaitsu al-Nafi’ fi al-Qira’atial-Sab’i
10.    Imam Abu Amr al-Dani, wafat pada tahun 444 H.
Beliau menyusun kitab :  al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’i.

D.                Mengenal Imam-Imam Qiraat
            Berikut ini adalah para imam qira’at yang terkenal dalam sebutan qira’at Sab’ah dan Qiraat ‘Asyarah , serta qira’at Arba’ ‘Asyara :
1.      Nafi’al-Madani
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laitsi, maula Ja’unah bin Syu’ub al-Laitsi. Berasal dari Isfahan. Wafat di Madinah pada tahun 177 H.
Ia mempelajari qira’at dari Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’, Abdurrahman bin Hurmuz, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi; mereka semua menerima qiraat yang mereka ajarkan dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah.
Murid-murid Imam Nafi’ banyak sekali, antara lain : Imam Malik bin Anas, al-Lais bin Sa’ad, Abu ‘Amar ibn al-‘Alla’, ‘Isa bin Wardan dan Sulaiman bin Jamaz.
Perawi qira’at Imam Nafi’ yang terkenal ada dua orang, yaitu  Qaaluun (w. 220 H) dan Warasy (w.197 H).
2.      Ibn Kasir al-Makki
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Kasir bin Umar bin Abdullah bin Zada    bin Fairuz bin Hurmuz al-Makki. Lahir di Makkah tahun 45 H. dan wafat juga di     Makkah tahun 120 H.
Beliau mempelajari qira’at dari Abu as-Sa’ib, Abdullah bin Sa’ib al-Makhzumi, Mujahid bin Jabr al-Makki dan Diryas (maula Ibn ‘Abbas). Mereka semua masing-masing menerima dari Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Umar bin Khattab; ketiga Sahabat ini menerimanya langsung dari Rasulullah SAW.
Murid-murid Imam Ibn KAsir banyak sekali, namun perawi qiraatnya yang terkenal ada dua orang, yaitu Bazzi (w. 250 H) dan Qunbul (w. 251 H).
3.      Abu’Amr al-Basri
Nama lengkapnya Zabban bin ‘Alla’ bin ‘Ammar bin ‘Aryan al-Mazani at-Tamimi al-Bashr. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Beliau adalah imam Bashrah sekaligus ahli qiraat Bashrah. Beliau lahir di Mekkah tahun 70 H, besar di Bashrah, kemudian bersama ayahnya berangkat ke Makkah dan Madinah. Wafat di Kufah pada tahun 154 H.
Beliau belajar qira’at dari Abu Ja’far, Syaibah bin Nasah, Nafi’ bin Abu Nu’aim, Abdullah ibn Kasir, ‘Ashim bin Abu al-Nujud dan Abu al-‘aliyah. Abu al-‘Aliyah menerimanya dari Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Abbas. Keempat Sahabat ini menerima qira’at langsung dari Rasulullah SAW.
Murid beliau banyak sekali, yang terkenal adalah Yahya bin Mubarak bin Mughirah al-Yazidi (w. 202 H.) Dari Yahya inilah kedua perawi qiraat Abu ‘Amr menerima qiraatnya, yaitu al-Duuri (w. 246 H) dan al-Suusii (w. 261 H).
4.      Abdullah bin ‘Amir al-Syami
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin ‘Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah al-Yahshabi. Nama panggilannya adalah Abu ‘Amr, ia termasuk golongan Tabi’in. Beliau adalah imam qiraat negeri Syam, lahir pada tahun 8 H, wafat pada tahun 118 H di Damsyik.
Ibn ‘Amir menerima qira’at dari Mugirah bin Abu Syihab, Abdullah bin Umar bin Mugirah al-Makhzumi dan Abu Darda’ dari Utsaman bin Affan dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal adalah Hisyam (w. 145 H) dan Ibn Zakwaan (w. 242 H).
5.      ‘Ashim al-Kufi
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim bin  Abu al-Nujud. Ada yang mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Abdullah, sedang Abu al-Nujud adalah nama panggilannya. Nama panggilan ‘Ashim sendiri adalah Abu Bakar, ia masih tergolong Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 127 H.
Beliau menerima qira’at dari Abu Abdurrahman bin Abdullah al-Salami, Wazar bin Hubaisy al-Asadi dan Abu Umar Saad bin Ilyas al-Syaibani. Mereka bertiga menerimanya dari Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud menerimanya dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qiraatnya yang terkenal adalah Syu’bah (w.193 H) dan Hafs (w. 180H).
6.      Hamzah al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin ‘Ammarah bin Ismail al-Kufi. Beliau adalah imam qiraat di Kufah setelah Imam ‘Ashim. Lahir pada tahun 80 H., wafat pada tahun 156 H di Halwan, suatu kota di Iraq.
Beliau belajar dan mengambil qiraat dari Abu Hamzah Hamran bin A’yun, Abu Ishaq ‘Amr bin Abdullah al-Sabi’I, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Ya’la, Abu Muhammad Talhah bin Mashraf al-Yamani dan Abu Abdullah Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainul ‘Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib serta Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW.
Di antara para muridnya yang menjadi perawi qira’at -nya yang terkenal adalah Khalaf  (w. 150 H) dan Khallad (w. 229 H).
7.      Al-Kisa’i al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Usman al-Nahwi. Nama panggilannya Abul Hasan dan ia bergelar Kisa’i karena ia mulai melakukan ihram di Kisaa’i. Beliau wafat pada tahun 189 H.
Beliau mengambil qira’at dari banyak ulama. Diantaranya adalah Hamzah bin Habib al-Zayyat, Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Laia, ‘Ashim bin Abun Nujud, Abu Bakar bin’Ilyasy dan Ismail bin Ja’far yang menerimanya dari Syaibah bin Nashah (guru Imam Nafi’ al-Madani), mereka semua mempunyai sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
Murid-murid Imam Kisaa’i yang dikenal sebagai perawi yang dikenal sebagai perawi qira’at-nya adalah al-Lais (w. 240 H) dan Hafsh  al-Duuri (w. 246 H).
Untuk melengkapi jumlah qira’at menjadi qira’at ‘Asyarah, maka ditambahkan imam-imam qira’at berikut ini :
8.      Abu Ja’far al-Madani
Nama lengkapnya adalah Yazid bin Qa’qa’ al-Makhzumi al-Madani. Nama panggilannya Abu Ja’far. Beliau salah seorang Imam Qiraat ‘Asyarah dan termasuk golongan Tabi’in. Beliau wafat pada tahun 130 H.  
Beliau mengambil qiraat dari maulanya, Abdullah bin ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah, mereka bertiga menerimanya dari Ubay bin Ka’ab. Abu Hurairah dan Ibn Mas’ud mengambil qiraat dari Zaid bin Tsabit, dan mereka semua menerimanya dari Rasulullah SAW.
Murid Imam Abu Ja’far yang terkenal menjadi perawi qiraatnya adalah Isa bin Wardaan (w. 160 H) dan Ibn Jammaz (w. 170 H).
9.      Ya’qub al-Bashri
Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ishaq bin Zaid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrami al-Mishri. Nama panggilannya Muhammad. Beliau seorang imam qiraat yang besar, banyak ilmu,shalih dan terpercaya. Beliau merupakan sesepuh utama para ahli qiraat sesudah Abu ‘Amr bin al-‘Alla’. Beliau wafat pada bulan Zul Hijjah tahun 205 H.
Beliau mengambil qiraat dari Abdul Mundir Salam bin Sulaiman al-Muzanni, Syihab bin Syarnafah, Abu Yahya Mahd bin Maimun dan Abul Asyhab Ja’far bin Hibban al-‘Autar. Semua gurunya ini mempunyai sanad yang bersambung kepada Abu Musa al-Asy’ari dari Rasulullah SAW.
Murid sekaligus perawi dari qiraat Imam Ya’qub yang terkenal adalah Ruwas (w. 238 H) dan Ruh (w. 235 H).
10. Khalaf al-‘Asyir
Nama lengkapnya adalah Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab al-Asdi al-Baghdadi. Nama panggilannya Abu Muhammad. Beliau lahir tahun 150 H. dan wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 229 H. di Bagdad.
Beliau tampil dengan qiraat tersendiri yang berbeda dengan qiraat dari gurunya Imam Hamzah, oleh karena itu ia terhitung masuk ke dalam kelompok Imam Qiraat ‘Asyarah
Murid-murid yang merawikan qiraat Imam Khalaf ini yang terkenal adalah Ishaq (w. 286 H) dan Idris (w. 292).
Untuk melengkapi jumlah qiraat menjadi Qiraat Arba’ ‘Asyarah, maka ditambahkan imam-imam qiraat berikut ini :
11. Hasan al-Basri
Nama lengkapnya adalah Hasan bin Abu al-Hasan Yasar Abu Said al-Bashri. Seorang pembesar Tabi’in yang terkenal zuhud, wafat pada tahun 110 H. Dua perawinya adalah  Syuja’ bin Abu al-Nashr al-Balkhi dan al-Duri.
12. Ibn Muhaisin
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdurrahman al-Makki. Beliau adalah guru dari Abu ‘Amr al-Dani, wafat pada tahun 123 H. Dua perawinya adalah al-Bazzi dan Abu al-Hasan bin Syambudz
13. Al-Yazidi
Nama lengkapnya adalah Yahya bin Mubarak al-Yazidi al-Nahwi. Beliau adalah guru dari al-Duri dan Al-Susi, wafat pada tahun 202 H. Dua perawinya adalah Sulaiman bin al-Hakam dan Ahmad bin Farh.
14. Al-A’masy
Nama lengkapnya adalah Sulaiman bin Mahram al-A’masy. Beliau termasuk golongan Tabii., wafat pada tahun 148 H. Dua perawinya adalah al-Hasan bin Said al-Mathu’I dan Abu al-Farj al- Syambudzi al-Syatwi.

E.                 Syarat-syarat Sahnya Qiraat
            Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
1. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
3. Shahih sanadnya.
            Yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab“ ialah: tidak menyalahi salah satu segi dari segi-segi  qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
            Sementara yang dimaksud dengan “sesuai dengan salah satu tulisan pada mushaf Usmani” adalah sesuainya qiraat itu dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada masa itu.
            Mengenai maksud dari “shahih sanadnya” ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja, sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.
            Syaikh Makki bin Abu Talib al-Qaisi menyatakan : “Qiraat shahih adalah qiraat yang shahih sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, ungkapan kalimatnya sempurna menurut kaedah tata bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani.” Pendapat ini diikuti oleh Ibnl Jazari, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Tayyibatun Nasyar fi al-Qira’at al-‘Asyar..
            Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pendapat al-Shafaaqasi, pendapat ini lemah karena membawa akibat tidak adanya perbedaan antara al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an.
            Akan tetapi pada kesempatan lain, Ibnl Jazari mensyaratkan mutawatir untuk diterimanya qiraat yang shahih, seperti disebutkan pada kitabnya Munjid al-Muqriin wa Mursyid al-Talibin.  Jadi, mungkin yang dimaksud dengan “shahih sanadnya” oleh Ibnl Jazari di sini adalah Mutawatir.
            Menurut Imam al-Nuwairi : “ Meniadakan syarat mutawatir adalah pendapat yang baru, bertentangan dengan ijma’ para ahli fiqih, ahli hadis dan yang lain-lain. Sebab al-Qur’an menurut jumhur ulama empat mazhab yang terkemuka adalah kalamullah yang diriwayatkan  secara mutawatir dan dituliskan pada mushaf. Semua orang yang memegang definisi ini pasti mensyaratkan mutawatir, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hajib. Dengan demikian, menurut para imam dan pemuka mazhab yang empat, syarat mutawatir itu merupakan keharusan. Banyak orang yang secara jelas menerangkan pendapat ini seperti Abu Abdul Barr, al-Azra’i, Ibn ‘Athiyah, al-Zarkasyi dan al-Asnawi. Pendapat yang mensyaratkan mutawatir inipun telah menjadi ijma’ para ahli qiraat. Tidak ada ulama mutaakhirin yang tidak sependapat kecuali al-Makki dan beberapa orang lainnya.”

F.                  Pengaruh Qiraat Terhadap Istinbat Hukum
            Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang  berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz  tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat hukum dan adakalanya tidak.
1.    Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum
Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at  membantu penafsiran qira’at (لَامَسْتُمْ) dalam menetapkan hal-hal yang membatalkan wudu seperti dalam  Q.S Al-Nisa’  (4): 43 :
وَإِنْ كُنتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Terjemahnya:
"….. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya  Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun".
            Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ). Ibn Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ), sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ).
            Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (لَامَسْتُمْ), ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (َامَسْتُمْ), yaitu: bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
            Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (َامَسْتُمْ). Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam bentuk lainnya.
            Ada  sebuah  pendapat  yang  menyatakan,  bahwa  yang  dimaksud  dengan  (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) adalah sekedar menyentuh perempuan. Sedangkan  maksud  dari (امَسْتُمْ) adalah berjima’ dengan perempuan. Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya sebelum berangkat  sholat  tanpa  berwudhu  lagi. Jadi  yang  dimaksud dengan   kata (لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ) di sini adalah berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu adalah berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.
            Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang menyatakan bahwa kata al-lums (اللمس) dalam qira’at (لمستم), makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (الملامسات) dalam qira’at  (لمَسْتُمْ), makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti bersetubuh.  

2. Perbedaan  Qiraat  yang  Tidak  Berpengaruh  terhadap  Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi tidak berpengaruh terhadap  istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab (33): 49.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Terjemahnya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
            Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I, membacanya dengan (مِنْقَبْلِ أَنْ تَمآسُّوهُنَّ), sementara Ibn Kasir, Abu 'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ). Perbedaan bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.
      
3. Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum
            Tidak hanya qira’at mutawatir dan  masyhur yang dapat dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama.
            Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan Qiraat  Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut :
1.    Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْمانيَهُمَا
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan keduanya…..

Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
2.    Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kafarah sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ متتلبعات
Artinya :
………. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya  puasa selama tiga hari berturut-turut ….
Dalam qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
            Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan hal  yang sangat baik.
Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan al-Suyuti, sebagai berikut :
“Jika penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang benar, yang kemudian menjadi bagian dari qiraat al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan hukum dari penafsiran yang dikemukakan Qira’at Syaz ini adalah suatu pengejawantahan yang dapat dipertanggung jawabkan.”

G.    Manfaat Perbedaan Qiraat
            Adanya bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu :
1.    Meringankan umat Islam dan mudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an. Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3. Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ….
Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
4.    Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qiraat menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.
5.    Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
            Dalam qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat wajah Allah di akhirat nanti.
6.    Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad  SAW atas umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan beberapa qiraat.





BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
            Dari pembahasan tentang qiraat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Qira’at  Sab’ah bukanlah Sab’atu ahruf, tetapi qira’at Sab’ah adalah qira’at yang diriwayatkan oleh para imam qiraat yang tujuh orang, dan merupakan bagian dari Sab’atu Ahruf.
2. Qira’at ‘Asyarah adalah shahih dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, maka boleh membaca al-Qur’an dengan qiraat manapun diantara salah satu dari yang sepuluh itu, di luar itu adalah Qiraat Syadz serta tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an.
3. Qira’at, baik shahih maupun syadz, dapat dipakai untuk menetapkan hukum syar’i, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
4. Umat Islam sangat mementingkan masalah al-Qur’an beserta qiraatnya yang bermacam-macam itu sehingga banyak ulama mengkhususkan diri dalam maslah qiraat dengan mendalaminya, mengajarkannya dan menulis kitab-kitab tentang qiraat. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga kemurnian al-Qur’an.
5. Perbedaan qira’at yang ada mempunyai banyak manfaat bagi umat Islam, terutama dalam memudahkan membaca al-Qur’an dan mengambil hukum dari al-Qur’an.

B.                 Saran-Saran
            Dengan selesainya makalah ini tentunya masih banyak yang kurang di dalamnyai maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari Bapak  dosen yang membawakan mata kuliah ini.
            Selanjutnya selaku Penyusun makalah ini kami hanya memberikan himbauan khususnya kepada teman-teman mahasiswa karena seperti yang kita ketahui bahwa mahasiswa “agent social of change dan agent social of control”, maka untuk mengaplikasikannya itu maka kita dituntut untuk mengadakan inovasi dan tidak lupa kita harus membenahi diri kekurangan yang ada untuk menuju kesempurnaan.



DAFTAR PUSTAKA

Nur, Muhammad Qadirun. 2001. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta. Pustaka Amani.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul Kutub Al-   Islamiyah.
Al-Qattan, Manna Khalil. 1973. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Surabaya. Al-hidayah.
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar el-Islam 





Rasm Al-Qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan sebutan Rasm Al-Utsmani, Khalifah Usman bin Affan memerintahkan untuk membuat sebuah mushaf Al-Imam, dan membakar semua mushaf selain mushaf Al-Imam ini karena pada zaman Usman bin Affan kekuasaaan Islam telah tersebar meliputi daerah-daerah selain Arab yang memiliki sosio-kultur berbeda. Hal ini menyebabkan percampuran kultur antar daerah. Sehingga ditakutkan budaya arab murni termasuk di dalamnya lahjah dan cara bacaan menjadi rusak atau bahkan hilang tergilas budaya dari daerah lainnya. Implikasi yang paling ditakutkan adalah rusaknya budaya oral arab akan menyebabkan banyak perbedaan dalam membaca Al-Qur’an.

Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an

Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi Terdapat sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan di dalam rams Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
BAB I
PENDAHULUAN

1.     Latar Belakang
Rasmul qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu alqur’an yang mana di dalamnya mempelajari tentangpenulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Tulisan al-Quran ‘Utsmani adalah tulisan yang dinisbatkan kepada sayyidina utsman ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul setelah rampungnya penyalinan al-Quran yang dilakukan oleh team yang dibentuk oleh Ustman  pada tahun 25H. oleh para Ulama cara penulisan ini biasanya di istilahkan dengan “Rasmul ‘Utsmani’. Yang kemudian dinisbatkan kepada Amirul Mukminin Ustman ra.[16]
Para Ulama berbeda pendapat tentang penulisan ini, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tulisan tersebut bersifat taufiqi (ketetapan langsung dari Rasulullah), mereka berlandaskan riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah menerangkan kepada salah satu Kuttab (juru tulis wahyu) yaitu Mu’awiyah  tentang tatacara penulisan wahyu. diantara Ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini adalah Ibnul al-Mubarak dalam kitabnya “al-Ibriz” yang menukil perkataan gurunya “ Abdul ‘Aziz al-Dibagh”, “bahwa tlisan yang terdapat pada Rasm ‘Utsmani semuanya memiliki rahasia-rahasia dan tidak ada satupun sahabat yang memiliki andil, sepertihalnya diketahui bahwa al-Quran adalh mu’jizat begitupula tulisannya”. Namun disisi lain, ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa, Rasmul Ustmani bukanlah tauqifi, tapi hanyalah tatacara penulisan al-Quran saja.
Makalah yang kami buat untuk membahas tentang pengertian Rasm Al-Qur’an, dan tentang pendapat rasmul qur’an serta kaitannya dengan qiaraah. Untuk lebih jelasnya pada bab selanjutnya akan dibahas secara terperinci.
2.     Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian rasmul qur’an?
2.     Apa pendapat para ulama tentang rasmul qur’an?
3.     Bagaimana kaitanya rasmul qur’an dengan qiraah?
3.     Tujuan Penulisan
Makalah ini dimaksudkan agar kita lebih mengerti tentang ilmu al qur’an, khususnya tentang ilmu rasmul qur’an. Dan kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya bagi diri kami sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN

     I.        Pengertian Rasmul Qur’an
Rasmul Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasmul Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari, Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
1.     Al–Hadzf(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
2.     Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hokum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
3.     Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
4.     Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
5.     Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
6.     Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayt ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).

    II.        Pendapat Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi.yang mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang menulis alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
  III.        Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’at
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
BAB III
PENUTUP

1.     Kesimpulan
Rasmul qur’an atau rasmul ustmani adalah tata cara menuliskan Al-qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah ustman bin affan dengan kaidah-kaidah tertentu.
Sebagian para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi, tapi sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui ustman dan diterima umatnya,sehingga wajib wajib diikuti dan di taati siapa pun ketika menulis al-qur’an. Tidak boleh ada yang menyalahinya.
Hubungan antara rasmul qur’an dan qira’ah sangat erat sekali Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-qur’an.Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
2.     Kritik dan saran
Dari pemaparan kami di atas mungkin banyak kekeliruan atau kesalahan dalam penuliasan,oleh karna itu kami mohon kritik dan sarannya agar kami bisa belajar dan memperbaiki kesalahan kami. Atas kekurangannya kami mohon maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon, 2008.Ulumul Qur’an untuk IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Anwar Rosihon, 2004.Ulumul Qur’an untuk IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Ash – shabuni,moh,ali.1983.Pengantar ilmu Al-qur’an.Surabaya.Al ihlas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar