1.
Pengertian AI-Istihsan
Untuk
memahami istihsan, di bawah ini disajikan beberapa contoh
yang sederhana tentang itu. Misalnya, seorang yang dititipi barang harus
mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan
untuk mengongkosi hidupnya. Apabila seorang anak menitipkan barang kepada ayahnya
kemudian barang tersebut digunakan oleh ayahnya untuk
membiayai hidupnya, maka berdasarkan ishtisan si ayah
tidak diwajibkan menggantinya, karena ia mempunyai hak menggunakan
harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.
Seseorang
mempunyai kewenangan bertindak hukum apabila dia
sudah dewasa dan berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh
ibunya untuk membeli garam ke warung? Berdasarkan
istihsan anak kecil diperbolehkan membeli barang-barang
yang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan kemaksiatan.
Air sisa binatang buas itu najis, bagaimana air sisa burung
yang buas. Berdasar istihsan sisa burung yang buas tidak najis,
karena burung minum dengan paruhnya, jadi air liumya tidak mengenai
air.
Dari
contoh di atas kita bisa menyimpulkan pengertian istihsan yaitu:
"Perpindahan dari satu hukum yang telah ditetapkan oleh
dalil syara kepada hukum lain karena ada dalil syara yang mengharuskan
perpindahan ini sesuai dengan jiwa Syari'ah Islam". Memang
takrif istihsan berbeda-beda di kalangan para ulama, tetapi
apabila disimpulkan, pengertian istilah seperti di atas dapat dipahami
dengan jelas.
Apabila
dalam pengertian istihsan itu ada perpindahan dari satu
hukum kepada hukum yang lain, maka yang dimaksud dengan perpindahan
itu adakalanya perpindahan dari dalil yang kulli kepada kekecualiannya,
adakalanya dari umum kepada yang khusus dan adakalanya
dari qiyas dhahir kepada qiyas khafi. Para ulama yang menerima
istihsan sebagai dalil, mengembalikan dasar istihsan kepada Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Dalil Al- Qur'an antara lain:
Tidak ada kesepakatan
di antara para ulama tentang sanad istihsan
ini. Ulama-ulama Hanafiyah menyebutkan empat macam sandaran istihsan yaitu:
1.
Istihsan yang sandarannya qiyas
khafi.
2.
Istihsan yang sandarannya `urf
yang shahih.
3.
Istihsan yang sandarannya nash.
4. Istihsan
yang sandarannya darurat
Ulama-ulama
Malikiyah hanya menyebutkan tiga macam sandaran istihsan yaitu:
1. Istihsan
yang sandarannya `urf shahih.
2. Istihsan
yang sandarannya mashlahat.
3. Istihsan
yang sandarannya raf' al-kharaj.
Kalau
diperhatikan betul-betul sanad istihsan ini, maka tampak
jelas bahwa istihsan yang sanadnya qiyas khafi sesungguhnya
termasuk turuq istinbath dengan
qiyas juga. Di sini hanya mentarjih satu qiyas atas qiyas
yang lain. Dalam hal ini qiyas khafi memang diperlukan untuk menghindarkan diri dari kejanggalan-kejanggalan hukum yang timbul akibat menerapkan qiyas jali
secara mutlak. Istihsan. yang
sandarannya nash, sesungguhnya
hukum tersebut berdasarkan nash
sejak
semula. Hanya saja nash tersebut
merupakan kekecualian, misalnya tentang orang yang tidak batal puasanya
apabila dia makan dan minum dalam keadaan lupa. Nash
yang
umum menetapkan: makan dan minum membatalkan puasa. Adapun
istihsan yang sandarannya darurat dan raf ‘ul kharaj
pada hakikatnya
aturan-aturan tersebut berkaitan erat dengan kemaslahatan Tinggal dua hal yang menjadi sandaran istihsan yaitu:
1. Istihsan
yang sandarannya Al-Adah al-Shahihah.
2. Istihsan
yang sandarannya kemaslahatan.
Jadi,
jelas dalam istihsan ini yang sangat penting adalah ruhul hukum/semangat
hukum Islam yang tersirat dalam Dalil-dalil Kulli, Maqasidu Syari'ah dan
kaidah-kaidah Kulliyah Fiqhiyah. Dengan kata
lain istihsan adalah cara berijtihad dengan menerapkan semangat hukum Islam terhadap kasus-kasus
tertentu.
Istihsan
ini tidak disetujui oleh sebagian ulama dijadikan sebagai
dalil karena dikhawatirkan menggunakan istihsan berarti memberikan
hukum sesuai dengan keinginan dan hawa nafsunya saja, tetapi apabila istihsan
diartikan sebagai perpindahan dari satu - dalil kepada
dalil yang lebih kuat, maka rasanya para ulama tidak akan
menolaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar