A L

ardhi.lizet@yahoo.com @ardhi_lizet ardhi.lizet@gmail.com

Rabu, 15 Juli 2015

Pengertian AI-Istihsan



1.      Pengertian AI-Istihsan

Untuk memahami istihsan, di bawah ini disajikan beberapa contoh yang sederhana tentang itu. Misalnya, seorang yang dititipi barang harus mengganti barang yang dititipkan kepadanya apabila digunakan untuk mengongkosi hidupnya. Apabila seorang anak menitipkan barang kepada ayahnya kemudian barang tersebut digunakan oleh ayahnya untuk membiayai hidupnya, maka berdasarkan ishtisan si ayah tidak diwajibkan menggantinya, karena ia mempunyai hak menggunakan harta anaknya untuk membiayai keperluan hidupnya.
Seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum apabila dia sudah dewasa dan berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh ibunya untuk membeli garam ke warung? Berdasarkan istihsan anak kecil diperbolehkan membeli barang­-barang yang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan kemaksiatan. Air sisa binatang buas itu najis, bagaimana air sisa burung yang buas. Berdasar istihsan sisa burung yang buas tidak najis, karena burung minum dengan paruhnya, jadi air liumya tidak mengenai air.
Dari contoh di atas kita bisa menyimpulkan pengertian istihsan yaitu: "Perpindahan dari satu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara kepada hukum lain karena ada dalil syara yang mengharuskan perpindahan ini sesuai dengan jiwa Syari'ah Islam". Memang takrif istihsan berbeda-beda di kalangan para ulama, tetapi apabila disimpulkan, pengertian istilah seperti di atas dapat dipahami dengan jelas.
Apabila dalam pengertian istihsan itu ada perpindahan dari satu hukum kepada hukum yang lain, maka yang dimaksud dengan perpindahan itu adakalanya perpindahan dari dalil yang kulli kepada kekecualiannya, adakalanya dari umum kepada yang khusus dan adakalanya dari qiyas dhahir kepada qiyas khafi. Para ulama yang menerima istihsan sebagai dalil, mengembalikan dasar istihsan kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al- Qur'an antara lain:
Tidak ada kesepakatan di antara para ulama tentang sanad istihsan ini. Ulama-ulama Hanafiyah menyebutkan empat macam sandaran istihsan yaitu:
1.      Istihsan yang sandarannya qiyas khafi.
2.      Istihsan yang sandarannya `urf yang shahih.
3.      Istihsan yang sandarannya nash.
4.      Istihsan yang sandarannya darurat
Ulama-ulama Malikiyah hanya menyebutkan tiga macam sandaran istihsan yaitu:
1.      Istihsan yang sandarannya `urf shahih.
2.      Istihsan yang sandarannya mashlahat.
3.    Istihsan yang sandarannya raf' al-kharaj.

Kalau diperhatikan betul-betul sanad istihsan ini, maka tampak jelas bahwa istihsan yang sanadnya qiyas khafi sesungguh­nya termasuk turuq istinbath dengan qiyas juga. Di sini hanya mentarjih satu qiyas atas qiyas yang lain. Dalam hal ini qiyas khafi memang diperlukan  untuk menghindarkan diri dari  kejanggalan-­kejanggalan  hukum yang timbul akibat menerapkan qiyas jali secara mutlak. Istihsan. yang sandarannya nash, sesungguhnya hukum tersebut berdasarkan nash sejak semula. Hanya saja nash tersebut merupakan kekecualian, misalnya tentang orang yang tidak batal puasanya apabila dia makan dan minum dalam keadaan lupa. Nash yang umum menetapkan: makan dan minum membatalkan puasa. Adapun istihsan yang sandarannya darurat dan raf ‘ul kharaj pada hakikatnya aturan-aturan tersebut berkaitan erat dengan kemaslahatan  Tinggal dua hal yang menjadi sandaran istihsan yaitu:
1.      Istihsan yang sandarannya Al-Adah al-Shahihah.
2.      Istihsan yang sandarannya kemaslahatan.
Jadi, jelas dalam istihsan ini yang sangat penting adalah ruhul hukum/semangat hukum Islam yang tersirat dalam Dalil-dalil Kulli, Maqasidu Syari'ah dan kaidah-kaidah Kulliyah Fiqhiyah. Dengan kata lain istihsan adalah cara berijtihad dengan menerapkan semangat hukum Islam terhadap kasus-kasus tertentu.
Istihsan ini tidak disetujui oleh sebagian ulama dijadikan sebagai dalil karena dikhawatirkan menggunakan istihsan berarti memberikan hukum sesuai dengan keinginan dan hawa nafsunya saja, tetapi apabila istihsan diartikan sebagai perpindahan dari satu - dalil kepada dalil yang lebih kuat, maka rasanya para ulama tidak akan menolaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar