A L

ardhi.lizet@yahoo.com @ardhi_lizet ardhi.lizet@gmail.com

Rabu, 15 Juli 2015

ISTIHSAN



ISTIHSAN

Definisi dan Pembagiannya
Istihsan adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath hukum oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Malik menilai, pemakaian istihsan merambah 90%, dari seluruh ilmu (fiqh) Imam Abu al-Hasan al-Karkhi mengemukakan definisi, -bahwa istihsan ialah: "penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang siituai-­kan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih, Wutg yang menghendaki dilakukannya penyimpan~an itu". Di antara difinisi-definisi istihsan yang ada, definisi ini adalah yangp aling kena dalam menjelaskan hakekat istihsan dalam pandangan madzhab Hanafy. Sebab definisi tersebut bisa mencakup seluruh macam istihsan serta dapat menyentuh pada asas dan inti pengertiannya. Asas dimaksud ialah adanya diktum hukum yang menyimpang dari kaedah yang berlaku, karena ada faktor lain yang mendorong agar keluar dari keterikatannya dengan kae3ah itu, yang dipandang justru akan lebih dekat pada tujuan syara', dibanding seandainya tetap terpaku dan.  berpegang teguh pada kaedah di atas
Ibnul Araby membuat definisi yang hampir mendekati definisi dari golong Hanafi. nafi. Ia mengatakan :"istihsan ialah memilih meninggalkan dalil, dan mengambil rukshah hukum sebaliknya, karena dalil itu herlawana dan dalil lain pada  sebagian kasus tertentu". la membagi istihsan kepada empat macam, yaitu .
1.      meninggalkan dalil karena `urf.
2.      meninggalkan dalil karena ijma',
3.      meninggalkan dalil karena maslahat, dan
4.      meninggalkan dalil karena untuk meringankan dan menghindar­ kan kan masyaqat.






PERTENTANGAN QIYAS DENGAN ISTIHSAN
 Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ulama di atas, da­pat disimpulkan bahwa istihsan ialah penggunaan maslahat juziyyah pada suatu kasus tertentu yang berlawanan dengan qiyasa hal ini, para ulama memberikan beberapa contoh, di antarannya:
1.                  Menunit qiyas, saksi-saksi pada setiap kasus yang diajukan',ke depan pengadilan hanislah orang-orang yang, adil. Sebab dengan sifat adil itulah seseorang dapat dinilai jujur atau tidaknya se­hingga kesaksiannya dapat dijadikan landasan keputusan hakim. Akan tetapi seandainya dalam suatu negara, seorang hakim/qadhi tidak menemukan orang yang adil, maka ia wajib menerima kesaksian orang yang secara umum dipandang dapat dipercaya ucapanya, sehingga dengan demikian dapat dicegah timbulnya kejahatan-kejahatan, baik terhadap harta benda maupun manusia/ individu.
2.                   Berdasarkan qiyas, saudara sekandung tidak mendapatkan bagian warisan apabila ahli warisnya terdiri dari : ibu, suami, beberapa _ saudara sekandung dan dua orang saudara seibu atau lebih. Akan . tetapi menurut Madzhab Maliky, sebagaimana juga hasil ketetap­an para sahabat; dengan menggunakan dalil istihsan, saudara­saudara sekandung mendapatkan bagian warisan dan di­golongkan kedudukannya sama dengan saudara-saudara seibu­dalam hal jumlah bagian warisanriya. Kebijaksanaan  itu disebut "istihsan", yang tidak lain bertujuan untuk mencegah pcmakaian qiyas dengan tanpa batas.
3.                   Seorang pembeli apabila membeli barang dengan syarat khiyarselama tiga hari, kemudian ia meninggal dunia di tengah-tengah masa khiyar, maka hak khiyar menurut -Madzhab Maliky beralih kepada ahli warisnya. Jika semua ahli waris sepakat membatal­ kan akad, maka menjadi batallah akad jual bcli itu. Sebaliknya - jika semua ahli waris sepakat menurut akad, maka pembelian itu berlangsung sah terhadap seluruh  ahli waris. Akan tetapi jika mereka berselisih pendapat, dan abli waris yang setuju meneruskan akad jual beli bersedia mengganti bagian yang di­ terima ahli waris yang menolak iteruskannya akad jual beli tersebut, maka berdasarkan istihsan akad itu telah terlaksana dari  pihak penjual. Oleh karena itu, tidak perlu diperhitungkan usui, pembatalan oleh sementara pihak sepanjang hanya berstatus sebagai ahli waris.
.
'
Demikianlah beberapa contoh istihsan yang pada intinya berlusar pada pencegahan pemakaian qiyas secara berlebihan yang menjurus ke arah yang tidak proporsional (qabih). Oleh karena itu, Imam Malik
Golongan Hanafi membagi istihsan menjadi dua macam yaitu:
1.                  Istihsan Qiyasan
2.                  Istihsan yang-disebabkan oleh adanya  kontradiksi antara qiyas dan dalil-dalil syar'i. yang .lain..
Pertama, yakni istihsan Qiyas, ialah apabila di dalam  suatu masalah terdapat dua sifat yang menuntut diterapkan dua qiyas yang  saling bertentangan. Sifat.yang. pertama: jelas (zhahir) lagi mudah dipahami  dan inilah yang disebut ,qiyas istilahi.. Sedang sifat yang kedua: samar (khafi) yang harus dihubungkan dengan sumber hokum islam yang lain, dan ini, kemudian yang dinamakan istihsan. Artinya, Seorang ahli fiqh ketika melakukan analisa untuk menentukan diktum hukumnya, dihadapkan pada dua ilhaq (acuan). Di satu. fihak ia ' dihadapkan pada ilhaq (acuan) yang zhahir, yang biasa dipakai sebagai dasar dalam menetapkan hukum terhadap masalah-masalah, yang sejenis dengan masalah ini. Di lain pihak, ia dihadapkan pada ilhaq (acuan) yang khafy (samar) yang dipandang lebih kuat pe­ngaruhnya terhadap masalah ini dibanding ilhaq yang zhahir. Oleh karena itu, dalam  masalah ini segala ketetapan pada masalah yang sejenis tidak berlaku. Imam Syamsul A'immah asy-Syarkhasy
' karenanya berkata: "Istihsan pada 11akekatnya adalah dua qiyas. Qiyas yang pertama: Jaly (jelas) tapi dha'if (lemah) pengaruhnya. Inilah yang disebut dengan qiyas.
Sedang yang kedua: khafy (sarnar) tapi kuat pengaruhnya. Ini yang kemudian dinamakan istihsan, Xa "i as Mustahsan._ Maka di sini yang diutamakan adalah pengaruhnya (atsamyu), bukan samar atau jelasnya sifat.
Tentang kuat dan lemahnya pengaruh (atsar), asasnya ialah: "at­taysir wa raf ul haraj '(mempermudah dan menghilangkan ke­sulitan). Dengan demikian, asas Istihsan Qiyas ialah: "Raf ul Naraj (menghilangkan kesulitan). Oleh karena itu, Imam asy-Syarkhasy dalam kitabnya "al-Mabsuth", setelah mngemukakan beberapa macam definisi istihsan, mengatakan: " Dari ibarat-ibarat itu dapat disimpulkan bahwa istihsan ialah menghindarkan kesulitan demi kemudahan." Sebab kemudahan merupakan unsur pokok atau prinsip dalam agama. Firman Allah:



Di antara contoh-contoh istihsan  macam pertama ini, Qiyas), ialah:
1.                        Seluruh tubuh wanita adalah aurat-dari ujung rambut sampai  ujung kaki. Akan tetapi kemudian diperbolehkan melihat sebaga; anggota badan tertentu karena ada hajat, seperti karena untuk. kepentingan pemeriksaan oleh seorang dokter kepada pasiennya ; Di sini terdapat pertentangan kaedah, bahwa seorang wanita . adalah aurat, karena memandang wanita akan mendatarigkan  ­fitnah. Kedua, adannya suatu sifat yang kemungkinan besarkan mendatangkan kesulitan (masyaqat) dalam kondisi-kondisi'­ tertentu, seperti ketika dalam pengobatan. Dalam' hal ini dipakai illat at-tasir  (memudahkan).   ,           . .
2.                  Apabila terjadi perselisihan antara dua fihak yang saling me­lakukan transaksi jual beli-sebelum pihak pembeli menerima barangnya (mabi') tentang besamya tsaman (harga), maka menurut qiyas yang zhahir, yang wajib mendatangkan saksi ialah penjual sebagai pihak yang menggugat adanya tambahan harga. Sebab pada dasamya kedua belah pihak sepakat tentang harga tersebut sampai pada. jumlah tcrtcntu. Sedang yang diper- ; selisihkan adalah mengenai 'tambahan harganya. Si penjual de­ngan demikian berstatus sebagai mudda'i -(penggugat). Di sini berlaku ketentuan:
Jadi apabila pihak penjual tidak bisa mendatangkan saksi, maka pihak pembeli hams mengangkat sumpah, sebagai pihak tergugat (mudda'a alaih). Akan tetapi berdasarkan istihsan, kedua belah pihak (penjual dan pembeli) harus mengangkal sumpah karena pada : hakekatnya masing-masing pihak mengingkari sesuatu yang digugat, oleh pihak lainnya. Pihak penjual menggugat tambahan harga (tsaman) dan mengingkari hak pembeli untuk mengambil barangnya sebelum terpenuhinya tambahan harga tersebut. Sedangkan pihak pembeli menggugat/mengaku berhak atas barang, tanpa adanya tambahan harga, dan mengingkari adanya kewajiban membayar 'MMbahan harga tersebut. Dari sini dapat diketahui bahwa di dalam istihsanterdapat illat yang lebih kuat penganihnya (atsamya) dari pada illat yang terdapat pada qiyas dan zhahir.      .





Istihsan Qivas bisa berlaku melebar (ekspansif). Sebab pe­makaiannya berdasarkan illat, sedang  illat itu bersifat meluas (muta'addi). Oleh sebab itu, para ulama berpendapat bahwa keharus­an saling bersumpah sebelum barang diserah terimakan  dalam transaksi jual-beli. Adapun dalam  kasus setelah barang diserah teri­makan, maka tidak ada keharusan saling" bersumpah kecuali dalam transaksi jual beli.
Termasuk contoh istihsan Qiyas, ialah masalah sisa minuman burung buas, seperti burung Nasar dan burung rajawali, yang sama dengan binatang Was dalam hal dagingnya yang najis (tidak boleh makan) serta memangsa jenis jenis binatang lain. yang najis. Berbeda halnya dengan burung buas. la meminum dengan paruhnya, sehingga air, liurnya tidak menetes ke dalam air sisa minumnya paruhnya berupa tulang yang tidak meninggalkan bekas             sedikitpun di dalam air. Karenanya air tersebut tidak bersentuhan dengan najis lantaran diminum burung buas itu. Walhasil, sisa, minumnya tidak bisa dihukumi najis. Sekadar untuk ikhtiyath para ulama menetapkan hukumnya: makruh.
256. Bagian kedua, ialah istihsan yang faktor mendorongnya bukannya illat khafy yang lebih kuat pengaruhnya kuat penganruhnya  dari Mata zhahir, akan tetapi ada faktor pendorong lain. Dengan ungkapan lain, pertentangan di sini bukannya pertentangan antara dua illat, yakni, Mata zhahir :di satu pihak, dan Mata khafy di lain pihak, , akan tetapi pertentangan antara Mat qiyas dan dalil lain selain qiyas.
Di lihat dari segi mu'aridhnya (dalil lain yang bertentangan), istihsan ini terbagi menjadi tiga macam:
1.                  Istihsan Sunnah,
2.                  Istihsan Ijma' dan
3.                  Istihsan Dlarurat.
Istihsan Su.rmah ialah: istihsan yang disebabkan oleh adanya ketetapan Sunnah yang mengharuskan meninggalkan dalil qiyas pada  kasus yang bersangkutan. Di antara contoh-contoh Istihsan Sunnah  ialah sebagai berikut:




a.                   Hadits Nabi SAW:­
ุฅุฐุงุฎุชู„ู ุงู„ู…ุชุจุง ุจุนุงู† ูˆุงู„ุณู„ุนุฉ ู‚ุงุฆู…ุฉ ุชุญุงู„ู ูˆุชุฑุงุฏ
Artinya: "Apabila terjadi sengketa antara pihakpenjual dan pembeli, sementara barang yang diperjual-belikan telah selesai diserah-terimakan, maka kedua belah pihak harus saling bersumpah dan saling mem­baratkan akad jual-belinya;
                                                                                                                ,
b.                  Hadits tentang sahnya puasa orang yang makan dan minum di siang hari karena lupa. Padahal menurut qiyas, puasa itu semesti­nya batal. Akan tetapi karena terdapat hadits yang menetapkan - sahnya puasa tersebut, maka golongan Hanafi meninggalkan dalil qiyas dalam masalah di atas;
c.                                                                Batalnya wudhu disebabkan tertawa berbahak-bahak di waktu menjalankan shalat. Padahal menurut qiyas, semestinya hanya shalatnya saja yang batal. Sebab shalat itulah yang terkena cacat.
Istihsa ijma adalah: istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma' ulama yang mene-tapkan hukum yang (berbeda dari tuntutan qiyas. Sebagai contoh: katetapan ijma' tentang sahnya akad Istihshna' (perburuhan/pesanan). Menurut qiyas, se­mestinya akad itu batal. Sebab sasaran (obyek) akad tidak ada ketika ,ad itu dilangsungkan.
Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma' atau "urf 'Am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini, berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat.:
 Istihsan ljma' ini pengertiannya hampir sama dengan Istihsan "urf, yakni dalam rangka menghilangkan kesulitan (daf ul masyaqqat) dan dalam konteks 'Urf `Am (tradisi).
Istihsan Dharurat ialah: "istihsan yang disebabkan oleh adanya keadaan dhlarurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk meninggalkan dalil qiyas." Contohnya seperti mensucikan kolam atau sumur yang tidak mungkin dilakukan jika kita tetap berpegang pada dalil  qiyas. Dalam hubungan ini, pengarang kitab "Kasyful Asrar", menerangkan: "Untuk mensucikan kolam atau sumur yang terkena najis, tidaklah mungkin dengan cara menuangkan air ke dalamnya. Air yang masuk ke dalam kolam akan menjadi najis lantaran bersentuhan dengan najis. Timba yang dipakai akan menjadi najis karena bersentuhan dengan air yang najis. Demikianlah seterusnya, saling terkait, hingga  semuanya menjadi najis. Oleh karena itu para ulama memilih menggunakan'dalil istihsan dengan meninggalkan penerapan dalil qiyas, karena ada  dharurat yang tidak bisa dihindarkan. Pengaruh dharurat dengan demikian, mampu mengguburkan khitab (perintah atau larangan Allah).
Para ulama fiqh kemudian mengajukan altematif dengan cara menguras air sumur itu sampai beberapa timba, yang dianggan campur najis. Dengan menimbanya  berulang-kali, volume najis yang. terdapat di dalam air akan semakin beikurang, meski tidak sama sekali.
Dengan  demikian, istihsan bagian kedua ini ialah  meninggalkannya penerapan dalil qiyas karena bertentangan dengan ketetapan dalil syari'iy atau prinsip umum (ashl kully). Golongan Madzhab Malihk,   menambah lagi satu macam istihsan, yaitu yang mereka sebut dengan~ "istihsan lil Maslahat." Artinya, apabila terjadi pertentangan antara  maslahat dan qiyas, maka sebagaimana telah disinggung di muka  maslahat tersebut harus didahulukan, mengakhirkan qiyas.
Dari uraian diatas jelas bahwa pangkal timbulnya tentangan antara tuntutan qiyas dan tuntutan istihsan, ialah  adanya . asas "berlakunya illat secara umum", yang diterapkan para ahli fiqh  kalangan Madzhab Hanafy, yang dipandang sebagai asas qiyas
Demikianlah pengertian istihsan sebagaimana diulas dalam kitab-kitab Madzhab Hanafy dan Maliky, di mana maudhu'uya  (obyeknya) sebenamya tidak keluar dari nash-nash syar'y. Sebab pada dasarnya, menurut Abu Hanifah, istihsan bersandar kepada dalil `qiyas, Atsar, Ijma' atau 'urf yang dipandangnya sebagai salah satu dari dalil-dalil syar'iy di luar nash, sebagaimana pula bersandar  kepada dlarurat, karena ada kaedah:  Jadi, mengambil dalil istihsan menurut Madzhab Hanafy, sama sekali tidak berarti menegaskan penggunaan sumber-sumber hukum yang  mu'tabar (yang jelas dapat diterima).
Pertama, bahwasannya dalam Madzhab Hanafy terdapat suatu masalah yang menjadi bahan perbincangan ulama Ahli Takhrij, yaitu pada kondisi-kondisi tertentu di mana terjadi saling tarik-menarik antara tuntutan menggunakan dalil qiyas dengan dalil istihsan. Apakah -hal ini tergolong masalah yang mengandung dua pendapat, karena berdasarkan kepada dua sumber -hukum: yaitu Qiyas dan isdhsan. Dan, memakai. dalil istihsan lebih unggul (arjah) dari pada memakai dalil qiyas, yang karenanya: orang yang memakai dalil qiyas, berarti ia mengambil pendapat yang kalah (marjuh). Atau sesungguhnya Abu Hanifah hanya mempunyai satu pendapat dalam  masalah ini. Apabila menurut qiyas hak perwalian terhadap orang gila ' yang terjadi setelah baligh diserahkan kepada orang yang ditentukan oleh qadhi dengan anggapan bahwa perwalian orang tua (bapak) telah rampung semenjak anaknya telah mencapai umur baligh dalam keadaan sehat (waras). Tetapi berdasarkan istihsan, menurut Abu Hanifah, perwalian orang tua (bapak) tersebut berlaku surut karena kembalinya sabab, yakni kondisi lemah yang disebabkan oleh sakit ingatan (gila). Apakah hal demikian dapat dikatakan bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat. Yang pertama, berdasarkan tuntut­an qiyas yang mencegah perwalian bapak, kecuali melalui penetapan qadhi. Yang kedua, berdasarkan istihsan yang memandang hak per­walian tersebut tetap milik orang tuanya.
Namun scjauh yang kami ketahui, Wndapat yang berdasarkan dalil qiyas tidak mungkin merupakan pendapat Abu Hanifah, karena ia tidak pemah mengemukakan pendapat tentang hal itu. Penda"~ ~Y yang dinukil dari Abu Hanifah ialah bahwa ia meninggalkan Pat ~
dalit
qiyas dan beralih kepada dalil istihsan apabila penggunaan dahl q,yas,r tersebut dipandang tidak tepat (qabih). Selain itu di antara macam; f,~j ~:~~-macam istihsan, menurut Madzhab Hanafy, ialah meninggalkan'~~ qiyas karena hadits, karena jjma atau karena dhanirat. Sebahknya~~~ tidak ada kekuatan bagi dalil qiyas untuk menentang nash, ijma' atau~ '~
_ dharurat.
Imam As-Sarkhasy menjelaskan kekeliruan pendapat orang ya'n'g"" satu pendapat dalam Madzhab Hanafy, jika pada tempat yang sama berlaku dalil istihsan. Ia lalu berkata: "sebagian ulama muta'akhirin
dari kalangcn sahabat-sahabatku menyangka bahwa menggurtakan dalil istihsan lebih baik dari pada menggunakan dalil qiyas yang diperbolehkan pada tempat di mana diberlakukan dalil istihsan. Hal itu, menurut pendapatku, hanyalah merupakan dugaan belaka. Sebab lafazh tersebut di kebanyakan kitab-kitab, tertulis: 'Hanya saja kami meninggalkan dalil qiyas'. Dalil yang ditinggalkan tentu saja tidak boleh digunakan. Boleh jadi tentang dipilihnya dalil istihsan di­katakan: 'Hanya saja aku memandang jelek menggunakan dalil qiyas'. Padahal memandang jelek apa yang boleh dijalankan menuiut syara' adalah kufur. Dengan demikian kita tahu bahwa dalil qiyas itu secara prinsip hams ditinggalkan ketika •bertentangan dengan dalil istihsan".
-
Perihal kedua, ialah sikap Imam Syafi'i tefiadap istihsan, dimana ia membatalkannya.        `
SANGGAHAN IMAM SYAFI'I TERHADAP ISTIHSAN
260. Imam Syafi'i membatalkan dalil istihsan. Karena itu ia menguraikannya dalam pasal. tesendiri dalam kitabnya Al-Untm dengan judul "Ibthalul istihsan" (pembatalan dalil istihsan). Dad alasan-alasan yang ia sebutkan itu dapat kita ketahui beberapa aspek
tentang istihsan. Alasan-alasan itu dapat diringkas ke dalam enarn hal, sebagaimana dikemukakannya dalam beberapa tempat secara ter­pencar dalam kitab Ar-Risalah dan kitab Al-Umm dalam pasal "Ibtha-;=:r lul Istihsan", sebagai berikut:
Syari'ah adalah nash dan kandungan nash ( acuan kepada nash) melalui qiyas. Bagaimana dengan istihsan? apakah termasuk salah satu dari dua macam syari'at itu atau berada di luar itu? Jika memang termasuk ke dalam salah satunya, maka tidak perlu dibicarakan lagi. Tetapi jika berada di luar ketentuan itu, maka berarti Allah SWT meninggalkan persoalan tanpa ada ketentuan hukumnya. Hal ini bertentangan dengan finnan-Nya: "
; Dengan demikian, istihsan yang temyata bukan merupakan~qiyas atau penerapan nash, bertentangan dengan ayat tersebut.
Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang memerintahkan agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya; melarang mengikuti hawa nafsu; dan memerintahkan kepada kita ketika terjadi pertentangan agar kembali kepada Kitabullah. Allah SWT berfirman:
Artinya: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka .kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian".
Sementara istihsan tidak termasuk Kitab (Al-Qur'an) atau Sun­nah, tidak pula merujuk kepada Kitab dan Sunnah, akan tetapi beracta di luar itu. Oleh karena itu, ia tidak bisa diterima sebagai sumber hukum kecuali jika didukung dengan adanya dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang menunjukkan dapat diterimanya dalil ini. Sedang tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan hal itu.     '
3. Nabi Muhammad SAW tidak pemah memberi fatwa dengan menggunakan istihsan. Beliau tidak pemah berpendapat berdasarkan hawa nafsunya. Ketika ditanya tentang seorang 1', ~ yang berkata kepada istrinya: "Kamu bagiku mirip pung,
e
ibuku", beliau tidak memberikan fatwa berdasarkan istthsan, ;~ akan.tetapi menunggu sampai turun ayat tentang Zhihar beserta ;; kafaratnya. Dan ketika ditanya tentang seorang lelaki yang ;" mendapati istrinya bersama lelaki lain dan menuduhnya berbuat~~,~ serong, beliau menunggu sampai turun ayat tentang h'an:=° = Demikian pula ketika ditanya tentang seseorang yang tidak mengakui nasab anaknya karena warna kulitnya tidak saitia - dengan warna kulit kedua orang tuanya, beliau menunggu sampai datangnya hukum Wan juga.
Jikalau ada seseoarang yang memberi fatwa dengan kedala-"ry'` man perasaan fiqhnya atau dengan istihsan, maka pasti yang' pertama melakukannya adalah Muhammad SAW, sayyidul mur- ' salin. Akan tetapi ternyata ia tidak melakukannya. Atas dasar ` inilah, kita wajib menghindarkan diri menggunakan istihsan' tanpa adanya topangan dari nash. Sebab Rasulullah adalah pa_ :' nutan yang baik (uswatun hasanah) bagi kita.

4. Nabi Muhammad SAW tidak berkenan terhadap para sahabat yang pergi ke daerah lain dan memberi fatwa dengan istihsan. Beliau mencela perbuatan sebagian para sahabat yang membakar seorang musyrik yang berlindung di bawah sebuah pohon. Begitu juga, beliau memandang tolol perbuatan Usamah yang mem- ' bunuh seorang laki-laki yang rnengucapkan kalimat:
11'~I ly~ ~1 jj " karena kalimat itu diucapkan di bawah
ancamari pedang yang terhunus. Seandainya penggunaan istihsan diperbolehkan, niscaya Nabi mencela perbuatan para sahabat tersebut.

5. Istihsan tidak mempunyai batasan yang jelas; tidak pula memiliki kriteria-kriteria yang bisa dijadikan standar untuk membedakan` antata yang haq dan yang batil, sebagaimana halnya qiyas. Jika setiap hakim, mufti atau mujtahid diperkenankan menggunakaii °,: dalil istihsan dengan tanpa adanya batasan, niscaya persoalannya'' akan -membias. Dan dalam satu•masalah baru yang muncul akan mendapat jawaban hukum yang beragam sesuai dengan ke='I"
cenderungan dan kemampuan masing-masing mufti dalam me­nangkap dan menerapkan dalil istihsan.
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin terhadap satu masalah terdapat bermacam-macam fatwa tanpa adanya pengunggulan (tarjih) yang satu atas yang lainnya. Sebab tidak ada ukuran dan batasan yang bisa dipakai untuk melakukan tarjih selama asasnya adalah istihsan.

6. Seandainya istihsan boleh dipakai oleh seorang mujtahid, semen­tara ia tidak berpegang pada nash atau mengacu pada nash, akan tetapi berpegang pada kemampuan akal semata, niscaya istihsan boleh dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang al-Kitab (Al-Qur'an) dan Sunnah. Sebab akal bagi selain ulama Al-Qur'an dan Sunnah mendapatkan kedudukan yang istimewa. Bahkan kadang-kadang di antara mereka, ada yang memiliki kemampuan intelektual dan penalaran melebihi ulama Al-Qura'an dan hadits. Dalam hal ini Imam Syafi'i berkata: "Jika kamu berkata bahwa mereka tidak menguasai ilmu dibidang ushul (Al-Qur'an dan hadits), maka kamu akan balik ditanya: apa alasanmu tentang kelebihan ilmumu di bidang ushul jika temyata pendapat-pendapatmu juga tidak didasarkan pada ashl (nash) atau qiyas kepada ashl. Apakah kekhawatiranmu terhadap kelompok rasionalis berlebihan lantaran •mereka tidak mengerti ilmu ushul sehingga mereka dipandang tidak mampu melakukan qiyas. Dan, apakah penguasaanmu tentang ushul (Al-Qur'an dan hadits) mengharuskan kamu melakukan qiyas kepada ushul atau boleh meninggalkannya. Jika kamu diperbolehkan meninggalkan ushul, maka tentunya mereka mempunyai hak yang sama denganm.u dalam mengeluarkan pendapatnya (tanpa berdasarkan ashl atau qiyas)„
semua macam istihsan yang ditawarkan Madzhab Hanaf
Y tidah  mendapatkan penolakan dari Imam syafi'i, karena didasarkan pada7 sumber=sumber yang dapat ditolerir oleh Imam Syafi'i. Sebab di* antara bentuk istihsan itu, adaa kalanya yang berupa 4iYas d~n kalanya yang berpegang pada nash, ijma' atau dharurat.- Sedang dasarkan ijma' ulama, kondisi dharurat memperbolehkan hal-hal yang: ;.ยต dilarang. Jadi dharurat merupakan suatu kondisi yang harus dijadikan' bahan pertimbangan. Bila ketentuan nash saja dapat dirubah dengan~< ' dharurat, apalagi qiyas.
Dalam istihsan Madzhab Maliky, alasan-alasan itu lebih banyah , tertuju kepada Istihsan Maslahat. Dan memang istihsan inilah yang menjadi sasaran keberatan dari Imam Syafi'i. tentu saja dengan catat_
an apakah maslahat yang dianggap oleh Imam Malik, bertentangan- : dengan ushul atau tidak.
Yang pasti, istihsan dalam pandangan Imam Syafi'i mencakup Maslahah Mursalah, di kala tidak ditemukan dalil lain. Begitu pula mencakup maslahah ketika bertentangan dengan qiyas.
7elaslah kiranya bahwa ternninologi istihsan yang ada pada Imam ' Syafi'i dan Imam Malik mencakup Maslahah Mursalah. Ucapan'' , Imam Malik: "istihsan adalah 90% dari ilmu," menunjuk pada pengertian istihsan dalam arti luas, termasuk di dalam maslahah:' ' Bahkan maslahah inilah yang sebenamya fierupakan bagian terbesar " dari jumlah 90% itu. Sedangkan istihsan dalam arti sempit, yakni; ', yang terbatas pada istihsan karena adanya pertentangan antara qiyas ' dan maslahah, hanyalah merupakari bagian kecil saja.:
Uraian serta pembelaan dari Madzhab Maliky tentang Maslahah Mursalah, akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan dalam bab '
Maslahah Mursalah, yang memang menipakan sumber hukum yang diperkenalkan oleh Imam Malik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar