ISTIHSAN
Definisi dan Pembagiannya
Istihsan
adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath
hukum
oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah. Bahkan Imam Malik
menilai, pemakaian istihsan
merambah 90%, dari
seluruh
ilmu (fiqh) Imam Abu al-Hasan al-Karkhi
mengemukakan definisi, -bahwa istihsan ialah: "penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang siituai-kan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang
lebih, Wutg yang menghendaki dilakukannya penyimpan~an itu". Di
antara difinisi-definisi istihsan
yang ada, definisi ini
adalah yangp aling kena dalam menjelaskan hakekat istihsan dalam pandangan
madzhab Hanafy. Sebab definisi
tersebut bisa mencakup seluruh macam istihsan serta dapat menyentuh pada
asas dan inti pengertiannya. Asas dimaksud
ialah adanya diktum hukum yang menyimpang dari kaedah yang berlaku, karena ada faktor lain yang
mendorong agar keluar dari keterikatannya
dengan kae3ah itu, yang dipandang justru akan lebih dekat pada tujuan syara', dibanding seandainya
tetap terpaku dan. berpegang teguh pada kaedah di
atas
Ibnul Araby membuat definisi yang hampir mendekati
definisi dari golong Hanafi. nafi.
Ia mengatakan :"istihsan ialah
memilih
meninggalkan dalil, dan mengambil
rukshah hukum sebaliknya,
karena dalil itu herlawana dan
dalil lain pada sebagian kasus tertentu".
la membagi istihsan kepada
empat macam, yaitu .
1.
meninggalkan dalil karena `urf.
2.
meninggalkan dalil karena ijma',
3.
meninggalkan dalil karena maslahat,
dan
4. meninggalkan
dalil karena untuk meringankan dan menghindar kan kan
masyaqat.
PERTENTANGAN QIYAS DENGAN ISTIHSAN
Dari beberapa definisi
yang dikemukakan para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa istihsan ialah penggunaan maslahat juziyyah pada suatu kasus tertentu
yang berlawanan dengan qiyasa hal ini, para ulama
memberikan beberapa contoh, di antarannya:
1.
Menunit qiyas, saksi-saksi pada
setiap kasus yang diajukan',ke depan pengadilan hanislah orang-orang yang, adil.
Sebab dengan sifat adil itulah seseorang
dapat dinilai jujur atau tidaknya sehingga
kesaksiannya dapat dijadikan landasan keputusan hakim. Akan tetapi
seandainya dalam suatu negara, seorang hakim/qadhi tidak menemukan orang yang adil, maka ia wajib menerima kesaksian orang yang secara umum dipandang dapat
dipercaya ucapanya, sehingga dengan demikian dapat dicegah timbulnya kejahatan-kejahatan, baik terhadap harta benda
maupun manusia/ individu.
2.
Berdasarkan qiyas, saudara sekandung tidak mendapatkan
bagian warisan apabila ahli warisnya terdiri
dari : ibu, suami, beberapa _ saudara sekandung dan dua orang saudara
seibu atau lebih. Akan . tetapi
menurut Madzhab Maliky, sebagaimana juga hasil ketetapan para sahabat; dengan
menggunakan dalil istihsan, saudarasaudara sekandung mendapatkan bagian warisan dan digolongkan kedudukannya sama dengan saudara-saudara
seibudalam hal jumlah bagian warisanriya. Kebijaksanaan itu disebut "istihsan", yang
tidak lain bertujuan untuk mencegah pcmakaian qiyas dengan tanpa batas.
3.
Seorang pembeli apabila
membeli barang dengan syarat khiyarselama tiga hari, kemudian ia meninggal dunia di
tengah-tengah masa khiyar, maka hak khiyar menurut -Madzhab Maliky
beralih kepada ahli warisnya. Jika semua ahli waris sepakat
membatal kan akad, maka menjadi batallah
akad jual bcli itu. Sebaliknya - jika semua ahli waris sepakat
menurut akad, maka pembelian itu berlangsung sah terhadap seluruh ahli waris. Akan tetapi jika mereka
berselisih pendapat, dan abli waris yang setuju meneruskan
akad jual beli bersedia mengganti bagian yang di terima ahli waris yang menolak
iteruskannya akad jual beli tersebut,
maka berdasarkan istihsan akad itu telah terlaksana dari pihak penjual. Oleh karena itu,
tidak perlu diperhitungkan usui, pembatalan oleh sementara pihak
sepanjang hanya berstatus sebagai ahli waris.
.
'
Demikianlah
beberapa contoh istihsan yang pada intinya berlusar pada
pencegahan pemakaian qiyas secara berlebihan yang menjurus ke
arah yang tidak proporsional (qabih). Oleh
karena itu, Imam Malik
Golongan Hanafi
membagi istihsan menjadi dua macam yaitu:
1.
Istihsan Qiyasan
2.
Istihsan yang-disebabkan oleh adanya kontradiksi
antara qiyas dan dalil-dalil syar'i. yang .lain..
Pertama,
yakni istihsan
Qiyas, ialah apabila di dalam suatu masalah terdapat dua sifat yang
menuntut diterapkan dua qiyas yang saling bertentangan.
Sifat.yang. pertama: jelas (zhahir) lagi mudah dipahami dan inilah yang disebut ,qiyas istilahi..
Sedang
sifat yang kedua:
samar (khafi) yang
harus
dihubungkan dengan sumber hokum islam yang
lain, dan ini, kemudian yang dinamakan istihsan. Artinya, Seorang ahli
fiqh ketika melakukan analisa untuk menentukan diktum hukumnya, dihadapkan pada dua ilhaq (acuan).
Di satu. fihak ia ' dihadapkan pada ilhaq
(acuan) yang zhahir, yang biasa dipakai sebagai
dasar dalam menetapkan hukum terhadap masalah-masalah, yang
sejenis dengan masalah ini. Di lain pihak, ia dihadapkan pada ilhaq
(acuan)
yang khafy (samar)
yang dipandang lebih kuat pengaruhnya terhadap masalah ini
dibanding ilhaq yang
zhahir. Oleh
karena
itu, dalam masalah
ini segala ketetapan pada masalah yang sejenis
tidak berlaku. Imam Syamsul A'immah asy-Syarkhasy
' karenanya
berkata: "Istihsan pada
11akekatnya adalah dua qiyas. Qiyas
yang
pertama: Jaly (jelas)
tapi dha'if (lemah)
pengaruhnya. Inilah yang disebut dengan qiyas.
Sedang
yang kedua: khafy (sarnar)
tapi kuat pengaruhnya. Ini yang kemudian dinamakan istihsan,
Xa "i as Mustahsan._ Maka di sini yang diutamakan adalah pengaruhnya (atsamyu), bukan samar atau jelasnya
sifat.
Tentang
kuat dan lemahnya pengaruh (atsar), asasnya
ialah: "attaysir
wa raf ul haraj '(mempermudah dan menghilangkan kesulitan).
Dengan demikian, asas Istihsan Qiyas ialah:
"Raf
ul Naraj (menghilangkan kesulitan). Oleh
karena itu, Imam asy-Syarkhasy dalam
kitabnya "al-Mabsuth", setelah
mngemukakan beberapa macam definisi istihsan,
mengatakan: " Dari ibarat-ibarat itu
dapat disimpulkan bahwa istihsan
ialah menghindarkan kesulitan demi
kemudahan." Sebab kemudahan
merupakan unsur pokok atau prinsip dalam agama. Firman Allah:
Di
antara contoh-contoh istihsan
macam
pertama ini, Qiyas), ialah:
1.
Seluruh tubuh wanita adalah
aurat-dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Akan tetapi kemudian diperbolehkan melihat sebaga; anggota badan tertentu karena ada hajat, seperti
karena untuk. kepentingan pemeriksaan oleh seorang dokter kepada
pasiennya ; Di sini terdapat pertentangan
kaedah, bahwa seorang wanita . adalah
aurat, karena memandang wanita akan mendatarigkan fitnah.
Kedua, adannya suatu sifat yang kemungkinan besarkan mendatangkan
kesulitan (masyaqat) dalam
kondisi-kondisi' tertentu,
seperti ketika dalam pengobatan. Dalam' hal ini dipakai
illat at-tasir (memudahkan). , . .
2.
Apabila terjadi perselisihan antara dua fihak yang saling
melakukan
transaksi jual beli-sebelum pihak pembeli menerima barangnya (mabi') tentang besamya tsaman (harga), maka menurut qiyas yang zhahir,
yang wajib mendatangkan saksi ialah penjual sebagai pihak yang menggugat adanya
tambahan harga. Sebab pada dasamya kedua belah
pihak sepakat tentang harga tersebut sampai pada. jumlah
tcrtcntu. Sedang yang diper- ; selisihkan
adalah mengenai 'tambahan harganya. Si penjual dengan demikian berstatus
sebagai mudda'i -(penggugat).
Di sini berlaku ketentuan:
Jadi
apabila pihak penjual tidak bisa mendatangkan saksi, maka pihak
pembeli hams mengangkat sumpah, sebagai pihak tergugat (mudda'a
alaih). Akan tetapi berdasarkan istihsan,
kedua
belah pihak (penjual dan pembeli) harus
mengangkal sumpah karena pada : hakekatnya
masing-masing pihak mengingkari sesuatu yang digugat, oleh pihak lainnya. Pihak penjual menggugat
tambahan harga (tsaman) dan mengingkari hak pembeli untuk mengambil
barangnya sebelum terpenuhinya tambahan
harga tersebut. Sedangkan pihak pembeli menggugat/mengaku berhak
atas barang, tanpa adanya tambahan harga, dan mengingkari
adanya kewajiban membayar 'MMbahan harga tersebut. Dari
sini dapat diketahui bahwa di dalam istihsanterdapat illat
yang
lebih kuat penganihnya (atsamya) dari pada illat yang terdapat pada qiyas dan zhahir. .
Istihsan
Qivas bisa
berlaku melebar (ekspansif). Sebab pemakaiannya berdasarkan illat, sedang
illat itu bersifat meluas (muta'addi).
Oleh
sebab itu, para ulama berpendapat bahwa keharusan saling bersumpah sebelum barang diserah terimakan dalam
transaksi
jual-beli. Adapun dalam kasus setelah barang diserah terimakan, maka
tidak ada keharusan saling" bersumpah kecuali dalam transaksi
jual beli.
Termasuk
contoh istihsan Qiyas, ialah
masalah sisa minuman burung buas, seperti burung Nasar
dan
burung rajawali, yang sama dengan binatang Was dalam
hal dagingnya yang najis (tidak boleh makan) serta
memangsa jenis jenis binatang lain. yang najis. Berbeda halnya dengan
burung buas. la meminum dengan paruhnya,
sehingga air, liurnya
tidak menetes ke dalam air sisa minumnya paruhnya berupa tulang yang tidak
meninggalkan bekas sedikitpun di dalam
air. Karenanya air tersebut tidak bersentuhan dengan
najis lantaran diminum burung buas itu. Walhasil, sisa,
minumnya
tidak bisa dihukumi najis. Sekadar untuk ikhtiyath para ulama menetapkan hukumnya: makruh.
256.
Bagian kedua, ialah istihsan yang
faktor mendorongnya bukannya illat
khafy yang lebih kuat pengaruhnya kuat
penganruhnya dari Mata
zhahir, akan tetapi ada faktor pendorong
lain. Dengan ungkapan lain, pertentangan di
sini bukannya pertentangan antara dua illat,
yakni,
Mata
zhahir :di satu pihak, dan Mata
khafy di lain pihak, , akan tetapi
pertentangan antara Mat qiyas dan
dalil lain selain qiyas.
Di
lihat dari segi mu'aridhnya (dalil
lain yang bertentangan), istihsan ini
terbagi menjadi tiga macam:
1.
Istihsan
Sunnah,
2.
Istihsan Ijma' dan
3.
Istihsan Dlarurat.
Istihsan Su.rmah ialah:
istihsan yang
disebabkan oleh adanya ketetapan Sunnah yang
mengharuskan meninggalkan dalil qiyas pada kasus yang bersangkutan. Di antara
contoh-contoh Istihsan Sunnah ialah sebagai berikut:
a.
Hadits Nabi SAW:
ุฅุฐุงุฎุชูู
ุงูู
ุชุจุง ุจุนุงู ูุงูุณูุนุฉ ูุงุฆู
ุฉ ุชุญุงูู ูุชุฑุงุฏ
Artinya:
"Apabila terjadi sengketa
antara pihakpenjual dan pembeli, sementara barang yang diperjual-belikan telah
selesai diserah-terimakan, maka
kedua belah pihak harus saling bersumpah dan saling membaratkan
akad jual-belinya;
,
b.
Hadits tentang sahnya puasa orang
yang makan dan minum di siang hari karena lupa. Padahal
menurut qiyas, puasa itu semestinya batal. Akan tetapi karena
terdapat hadits yang menetapkan - sahnya puasa tersebut, maka
golongan Hanafi meninggalkan dalil qiyas dalam
masalah di atas;
c.
Batalnya wudhu disebabkan tertawa
berbahak-bahak di waktu menjalankan
shalat. Padahal menurut qiyas, semestinya hanya shalatnya
saja yang batal. Sebab shalat itulah yang terkena cacat.
Istihsa ijma adalah: istihsan yang meninggalkan
penggunaan dalil qiyas karena adanya ijma' ulama
yang mene-tapkan hukum yang (berbeda dari
tuntutan qiyas. Sebagai
contoh: katetapan ijma' tentang sahnya
akad Istihshna' (perburuhan/pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran (obyek)
akad tidak ada ketika ,ad itu dilangsungkan.
Akan tetapi karena transaksi
model itu telah dikenal dan sah sepanjang
zaman, maka hal itu dipandang sebagai ijma' atau
"urf
'Am
(tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang
demikian ini, berarti merupakan perpindahan
dari suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat.:
Istihsan ljma' ini
pengertiannya hampir sama dengan Istihsan "urf, yakni
dalam rangka menghilangkan kesulitan (daf ul masyaqqat)
dan
dalam konteks 'Urf `Am (tradisi).
Istihsan Dharurat ialah:
"istihsan
yang
disebabkan oleh adanya keadaan dhlarurat
(terpaksa)
dalam suatu masalah yang mendorong seorang mujtahid untuk
meninggalkan dalil qiyas." Contohnya seperti mensucikan kolam atau sumur yang tidak mungkin
dilakukan jika kita tetap berpegang
pada dalil qiyas. Dalam hubungan ini, pengarang kitab "Kasyful
Asrar", menerangkan: "Untuk mensucikan kolam atau sumur yang terkena najis, tidaklah mungkin dengan
cara menuangkan air ke dalamnya. Air
yang masuk ke dalam kolam akan menjadi najis lantaran bersentuhan dengan najis. Timba yang dipakai akan menjadi najis karena bersentuhan dengan air yang najis. Demikianlah seterusnya, saling terkait, hingga semuanya menjadi najis. Oleh karena itu para ulama memilih menggunakan'dalil istihsan dengan meninggalkan
penerapan dalil qiyas, karena ada dharurat yang tidak bisa dihindarkan.
Pengaruh dharurat dengan demikian, mampu mengguburkan khitab (perintah atau
larangan Allah).
Para
ulama fiqh kemudian mengajukan altematif dengan cara menguras air sumur itu
sampai beberapa timba, yang dianggan campur najis. Dengan menimbanya berulang-kali, volume najis yang. terdapat
di dalam air akan semakin beikurang, meski tidak sama sekali.
Dengan
demikian, istihsan
bagian
kedua ini ialah meninggalkannya
penerapan dalil qiyas karena bertentangan dengan ketetapan dalil syari'iy atau prinsip umum (ashl
kully). Golongan Madzhab
Malihk, menambah lagi satu macam
istihsan, yaitu yang mereka sebut dengan~ "istihsan lil Maslahat." Artinya, apabila terjadi pertentangan antara maslahat
dan qiyas, maka sebagaimana telah disinggung di muka maslahat tersebut harus didahulukan, mengakhirkan qiyas.
Dari
uraian diatas jelas bahwa pangkal timbulnya tentangan antara tuntutan qiyas
dan tuntutan istihsan, ialah
adanya . asas "berlakunya illat
secara umum", yang diterapkan para ahli fiqh kalangan Madzhab Hanafy, yang
dipandang sebagai asas qiyas
Demikianlah
pengertian istihsan sebagaimana diulas dalam kitab-kitab
Madzhab Hanafy dan Maliky, di mana maudhu'uya (obyeknya) sebenamya tidak keluar dari nash-nash syar'y. Sebab pada
dasarnya, menurut Abu Hanifah, istihsan bersandar kepada dalil `qiyas, Atsar,
Ijma' atau 'urf yang dipandangnya
sebagai salah satu dari dalil-dalil
syar'iy di luar nash, sebagaimana pula bersandar
kepada dlarurat, karena ada
kaedah: Jadi,
mengambil dalil istihsan menurut Madzhab Hanafy, sama sekali tidak berarti menegaskan penggunaan
sumber-sumber hukum yang mu'tabar (yang jelas dapat
diterima).
Pertama,
bahwasannya
dalam Madzhab Hanafy terdapat suatu masalah yang menjadi bahan
perbincangan ulama Ahli Takhrij, yaitu
pada
kondisi-kondisi tertentu di mana terjadi saling tarik-menarik antara
tuntutan menggunakan dalil qiyas
dengan
dalil
istihsan. Apakah
-hal ini tergolong masalah yang mengandung dua pendapat, karena
berdasarkan kepada dua sumber -hukum: yaitu Qiyas dan
isdhsan.
Dan,
memakai. dalil
istihsan lebih unggul (arjah)
dari pada memakai dalil qiyas, yang
karenanya: orang yang memakai dalil qiyas, berarti ia mengambil pendapat yang kalah (marjuh). Atau sesungguhnya Abu Hanifah
hanya mempunyai satu pendapat dalam masalah ini. Apabila menurut qiyas hak
perwalian terhadap orang gila ' yang terjadi setelah baligh diserahkan kepada
orang yang ditentukan oleh qadhi dengan anggapan bahwa perwalian orang tua
(bapak) telah rampung semenjak anaknya
telah mencapai umur baligh dalam keadaan
sehat (waras). Tetapi berdasarkan istihsan,
menurut Abu Hanifah, perwalian orang tua (bapak) tersebut
berlaku surut karena kembalinya sabab, yakni kondisi lemah yang disebabkan oleh sakit ingatan (gila). Apakah hal
demikian dapat dikatakan bahwa dalam masalah
ini terdapat dua pendapat. Yang pertama, berdasarkan tuntutan qiyas yang
mencegah perwalian bapak, kecuali melalui penetapan qadhi. Yang kedua,
berdasarkan istihsan yang memandang
hak perwalian tersebut tetap milik
orang tuanya.
Namun scjauh yang kami ketahui,
Wndapat yang berdasarkan dalil qiyas tidak
mungkin merupakan pendapat Abu Hanifah, karena ia tidak pemah mengemukakan
pendapat tentang hal itu. Penda"~ ~Y
yang dinukil dari Abu Hanifah ialah bahwa ia
meninggalkan Pat ~
dalit
qiyas
dan
beralih kepada dalil istihsan apabila
penggunaan dahl q,yas,r tersebut
dipandang tidak tepat (qabih). Selain
itu di antara macam; f,~j ~:~~-macam istihsan,
menurut Madzhab Hanafy, ialah meninggalkan'~~
qiyas karena hadits, karena jjma atau karena dhanirat. Sebahknya~~~ tidak ada
kekuatan bagi dalil qiyas untuk
menentang nash, ijma' atau~ '~
_
dharurat.
Imam
As-Sarkhasy menjelaskan kekeliruan pendapat orang ya'n'g"" satu
pendapat dalam Madzhab Hanafy, jika pada tempat yang sama berlaku
dalil
istihsan. Ia lalu berkata: "sebagian
ulama muta'akhirin
dari
kalangcn sahabat-sahabatku menyangka bahwa menggurtakan dalil
istihsan lebih baik dari pada menggunakan dalil
qiyas yang diperbolehkan
pada tempat di mana diberlakukan dalil istihsan. Hal itu, menurut pendapatku, hanyalah
merupakan dugaan belaka. Sebab lafazh
tersebut di kebanyakan kitab-kitab, tertulis: 'Hanya saja kami meninggalkan dalil qiyas'. Dalil yang ditinggalkan
tentu saja tidak boleh digunakan. Boleh jadi tentang dipilihnya dalil istihsan dikatakan: 'Hanya saja aku memandang jelek
menggunakan dalil qiyas'. Padahal memandang jelek apa yang boleh
dijalankan menuiut syara' adalah
kufur. Dengan demikian kita tahu bahwa dalil qiyas itu secara prinsip hams ditinggalkan ketika •bertentangan dengan dalil istihsan".
-
Perihal kedua, ialah sikap Imam
Syafi'i tefiadap istihsan, dimana
ia
membatalkannya. `
SANGGAHAN
IMAM SYAFI'I TERHADAP ISTIHSAN
260.
Imam
Syafi'i membatalkan dalil istihsan. Karena itu ia menguraikannya
dalam pasal. tesendiri dalam kitabnya Al-Untm
dengan
judul "Ibthalul istihsan" (pembatalan
dalil istihsan). Dad alasan-alasan yang ia sebutkan
itu dapat kita ketahui beberapa aspek
tentang
istihsan. Alasan-alasan itu dapat diringkas
ke dalam enarn hal, sebagaimana dikemukakannya dalam beberapa tempat secara terpencar dalam kitab Ar-Risalah
dan kitab Al-Umm dalam pasal "Ibtha-;=:r lul Istihsan", sebagai berikut:
Syari'ah
adalah nash dan kandungan
nash ( acuan
kepada nash) melalui qiyas. Bagaimana dengan istihsan? apakah
termasuk salah satu dari dua macam syari'at
itu atau berada di luar itu? Jika memang termasuk ke dalam salah satunya, maka tidak perlu dibicarakan lagi. Tetapi jika berada di luar
ketentuan itu, maka berarti Allah SWT
meninggalkan persoalan tanpa ada ketentuan hukumnya. Hal ini bertentangan dengan finnan-Nya: "
; Dengan
demikian, istihsan yang temyata bukan merupakan~qiyas atau penerapan nash, bertentangan
dengan ayat tersebut.
Banyak
ayat-ayat al-Qur'an yang memerintahkan agar taat kepada
Allah dan Rasul-Nya; melarang mengikuti hawa nafsu; dan
memerintahkan kepada kita ketika terjadi pertentangan agar kembali
kepada Kitabullah. Allah
SWT berfirman:
Artinya: "Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka .kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian".
Sementara istihsan tidak termasuk Kitab
(Al-Qur'an) atau Sunnah, tidak pula
merujuk kepada Kitab dan Sunnah, akan tetapi beracta di luar itu. Oleh karena itu, ia tidak bisa diterima sebagai sumber hukum kecuali jika didukung dengan adanya
dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang
menunjukkan dapat diterimanya dalil
ini. Sedang tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan hal itu. '
3. Nabi
Muhammad SAW tidak pemah memberi fatwa dengan menggunakan istihsan. Beliau
tidak pemah berpendapat berdasarkan hawa nafsunya. Ketika
ditanya tentang seorang 1', ~ yang berkata kepada istrinya:
"Kamu bagiku mirip pung,
e
ibuku", beliau
tidak memberikan fatwa berdasarkan istthsan,
;~ akan.tetapi menunggu sampai turun ayat tentang Zhihar beserta ;; kafaratnya. Dan ketika ditanya tentang seorang
lelaki yang ;" mendapati istrinya bersama lelaki lain dan
menuduhnya berbuat~~,~ serong, beliau
menunggu sampai turun ayat tentang h'an:=° = Demikian pula ketika ditanya tentang seseorang yang
tidak mengakui nasab anaknya karena
warna kulitnya tidak saitia -
dengan warna kulit kedua orang tuanya,
beliau menunggu sampai datangnya
hukum Wan juga.
Jikalau
ada seseoarang yang memberi fatwa dengan kedala-"ry'` man
perasaan fiqhnya atau dengan istihsan, maka
pasti yang' pertama melakukannya adalah
Muhammad SAW, sayyidul mur-
' salin.
Akan
tetapi ternyata ia tidak melakukannya. Atas dasar ` inilah, kita
wajib menghindarkan diri menggunakan istihsan' tanpa adanya
topangan dari nash. Sebab Rasulullah adalah pa_ :' nutan yang baik (uswatun hasanah) bagi
kita.
4.
Nabi
Muhammad SAW tidak berkenan terhadap para sahabat yang pergi ke daerah lain dan
memberi fatwa dengan istihsan. Beliau
mencela perbuatan sebagian para sahabat yang membakar seorang
musyrik
yang
berlindung di bawah sebuah pohon. Begitu juga, beliau memandang tolol perbuatan
Usamah yang mem- ' bunuh seorang laki-laki yang rnengucapkan kalimat:
11'~I ly~ ~1 jj " karena
kalimat itu diucapkan di bawah
ancamari
pedang yang terhunus. Seandainya penggunaan istihsan diperbolehkan, niscaya
Nabi mencela perbuatan para sahabat tersebut.
5.
Istihsan tidak
mempunyai batasan yang jelas; tidak pula memiliki kriteria-kriteria
yang bisa dijadikan standar untuk membedakan` antata yang haq
dan yang batil, sebagaimana halnya qiyas.
Jika setiap hakim,
mufti atau mujtahid diperkenankan menggunakaii °,: dalil
istihsan dengan tanpa
adanya batasan, niscaya persoalannya'' akan
-membias. Dan dalam satu•masalah baru yang muncul akan mendapat jawaban hukum yang beragam sesuai dengan ke='I"
cenderungan
dan kemampuan masing-masing mufti dalam menangkap dan menerapkan dalil istihsan.
Oleh karena itu, bukan
tidak mungkin terhadap satu masalah terdapat bermacam-macam fatwa tanpa adanya
pengunggulan (tarjih) yang satu atas yang lainnya. Sebab tidak ada
ukuran dan batasan yang bisa dipakai
untuk melakukan tarjih selama
asasnya adalah istihsan.
6.
Seandainya
istihsan boleh
dipakai oleh seorang mujtahid, sementara ia tidak berpegang pada nash
atau mengacu pada nash, akan tetapi berpegang pada kemampuan
akal semata, niscaya istihsan boleh
dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang
al-Kitab (Al-Qur'an) dan Sunnah. Sebab akal bagi selain ulama
Al-Qur'an dan Sunnah mendapatkan kedudukan yang istimewa. Bahkan kadang-kadang di
antara mereka, ada yang memiliki
kemampuan intelektual dan penalaran melebihi ulama Al-Qura'an
dan hadits. Dalam hal ini Imam Syafi'i berkata: "Jika kamu berkata bahwa
mereka tidak menguasai ilmu dibidang ushul (Al-Qur'an
dan hadits), maka kamu akan balik ditanya: apa alasanmu tentang kelebihan ilmumu di bidang ushul jika
temyata pendapat-pendapatmu juga tidak
didasarkan pada ashl (nash) atau qiyas kepada ashl. Apakah
kekhawatiranmu terhadap kelompok rasionalis berlebihan lantaran •mereka tidak mengerti ilmu ushul sehingga mereka dipandang tidak mampu melakukan qiyas. Dan, apakah penguasaanmu
tentang ushul (Al-Qur'an dan hadits) mengharuskan kamu melakukan qiyas kepada ushul
atau boleh meninggalkannya. Jika kamu diperbolehkan meninggalkan
ushul, maka tentunya mereka mempunyai hak yang sama
denganm.u dalam mengeluarkan
pendapatnya (tanpa berdasarkan ashl
atau qiyas)„
semua
macam istihsan yang ditawarkan Madzhab Hanaf
Y
tidah mendapatkan
penolakan dari Imam syafi'i, karena didasarkan pada7 sumber=sumber
yang dapat ditolerir oleh Imam Syafi'i. Sebab di* antara bentuk istihsan
itu, adaa kalanya yang berupa 4iYas d~n
kalanya yang berpegang pada nash,
ijma' atau dharurat.- Sedang dasarkan ijma' ulama, kondisi dharurat
memperbolehkan hal-hal yang: ;.ยต dilarang.
Jadi dharurat merupakan suatu kondisi yang harus dijadikan' bahan pertimbangan. Bila ketentuan nash saja dapat
dirubah dengan~< ' dharurat,
apalagi qiyas.
Dalam
istihsan
Madzhab
Maliky, alasan-alasan itu lebih banyah , tertuju kepada Istihsan Maslahat. Dan
memang istihsan inilah yang menjadi
sasaran keberatan dari Imam Syafi'i. tentu saja dengan catat_
an
apakah maslahat yang dianggap oleh Imam Malik,
bertentangan- : dengan ushul
atau
tidak.
Yang
pasti, istihsan dalam
pandangan Imam Syafi'i mencakup Maslahah Mursalah, di
kala tidak ditemukan dalil lain. Begitu pula mencakup maslahah
ketika
bertentangan dengan qiyas.
7elaslah
kiranya bahwa ternninologi istihsan yang ada pada Imam ' Syafi'i
dan Imam Malik mencakup Maslahah Mursalah. Ucapan''
, Imam
Malik: "istihsan adalah
90% dari ilmu," menunjuk pada pengertian istihsan dalam
arti luas, termasuk di dalam maslahah:' ' Bahkan
maslahah
inilah
yang sebenamya fierupakan bagian terbesar " dari jumlah 90% itu. Sedangkan istihsan
dalam
arti sempit, yakni; ', yang terbatas pada istihsan
karena
adanya pertentangan antara qiyas ' dan maslahah,
hanyalah
merupakari bagian kecil saja.:
Uraian
serta pembelaan dari Madzhab Maliky tentang Maslahah Mursalah, akan
diuraikan lebih lanjut pada pembahasan dalam bab '
Maslahah
Mursalah, yang memang menipakan sumber
hukum yang diperkenalkan oleh Imam Malik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar