A L

ardhi.lizet@yahoo.com @ardhi_lizet ardhi.lizet@gmail.com

Rabu, 15 Juli 2015

Fiqh Dan Perbedaannya Dengan Syari’ah Dan Hukum Islam





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rosulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian Fiqh Dan Perbedaannya Dengan Syari’ah Dan Hukum Islam?
2.      Bagaimana Karakteristik / ciri-ciri fiqih?
3.      Objek Kajian dan klasifikasi Objek Kajian Fiqih?
4.      Bagaimana Cara Menyikapi Keberagaman Corak Pemahaman Fiqih?
5.      Bagaimana kedudukan Fiqh dalam hukum islam?
C.  Tujuan Masalah
  1. Untuk membahas Pengertian Fiqh Dan Perbedaannya Dengan Syari’ah Dan Hukum Islam
  2. Untuk mengetahui bagaimana Karakteristik / ciri-ciri fiqih
  3. Untuk mengetahui  mengenai Objek Kajian dan klasifikasi Objek Kajian Fiqih.
  4. Untuk memperdalam wawasan ilmu Cara Menyikapi Keberagaman Corak Pemahaman Fiqih
  5. Unutuk mengetahui kedudukan Fiqh dalam hukum islam




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fiqh Dan Perbedaannya Dengan Syari’ah Dan Hukum Islam
1.      Pengertian Fiqh
Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
ِفَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا (٧٨)
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
2.      Persamaan Dan Perbedaan  Syari'ah Dan Fiqi
Syariah dan Fiqih , adalah dua hal yang mengarahkan kita ke jalan yang benar . Dimana , Syariah bersumber dari Allah SWT, Al-Qur'an, Nabi Muhammad SAW, dan Hadist. Sedangkan Fiqh bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh , tetapi tetap merujuk pada Al-Qur'an dan Hadist .
Perbedaan Syari'ah dan Fiqih
Perbedaan yang perlu diketahui yaitu :
a.       Perbedaan dalam Objek :
Syariah Objeknya meliputi bukan saja batin manusia akan tetapi juga lahiriah manusia dengan Tuhannya (ibadah) Fiqih Objeknya peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain.
b.      Perbedaan dalam Sumber Pokok
Syariah Sumber Pokoknya ialah berasal dari wahyu ilahi dan atau kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari wahyu. FiqihBerasal dari hasil pemikiran manusia dan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat atau hasil ciptaan manusia dalam bentuk peraturan atau UU Perbedaan dalam Sanksi Syariah Sanksinya adalah pembalasan Tuhan di Yaumul Mahsyar, tapi kadang-kadang tidak terasa oleh manusia di dunia ada hukuman yang tidak langsung  Fiqih Semua norma sanksi bersifat sekunder, dengan Menunjuk sebagai Pelaksana alat pelaksana Negara sebagai pelaksana sanksinya.
c.       Perbedaan Pokok
1.      Syariah
a.       Berasal dari Al-Qur'an dan As-sunah
b.       Bersifat fundamental
c.        Hukumnta bersifat Qath'i (tidak berubah)
d.       Hukum Syariatnya hanya Satu (Universal)
e.        Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur'an
2.      Fiqih
a.       Karya Manusia yang bisa Berubah Bersifat Fundamental
b.       Hukumnya dapat berubah
c.        Banyak berbagai ragam
d.       Bersal dari Ijtihad para ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang dirumuskan oleh Mujtahid 
Islam sebagai agama samawi, memiliki kitab suci al-Qur’an. Sebagai sumber utama, al-Qur’an mengandung berbagai ajaran. Di kalangan ulama ada yang membagi kandungan al-Qur’an kepada tiga kelompok besar, yaitu aqidah, khuluqiyyah dan ‘amaliah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyah ber­kaitan dengan etika atau akhlak. Dan amaliah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang muncul dari aqwal (ungkapan-ungkapan), dan af’al (perbuatan-perbuatan manusia). Kelompok terakhir (‘ama­liah) ini, dalam sistematika hukum Islam dibagi ke dalam dua besar. Pertama ; Ibadat, yang di dalamnya diatur pola hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua ; mu’amalah, yang di dalamnya diatur pola hubungan antara sesama manusia.[1]
Hukum tentang ‘amaliah kemudian lebih dikenal dengan sebutan fiqh, yang bearti “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zahir kepada ilmu bathin. Karena itulah at-Tirmizi menyebutkan “fiqh tentang sesuatu”, berarti mengetahui batinnya sampai kepada ke dalamannya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa fiqhun atau paham tidak sama dengan ‘ilmu walaupun wazan lafaznya sama. Meskipun belum menjadi ilmu, paham adalah pikiran yang baik dari segi kesiapannya menangkap apa yang yang dituntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zhanni seperti paham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang hukum yang zhanni dalam dirinya.
Secara definitif, fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili”. Dalam definisi ini fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan di atas, fiqh itu bersifat zhanni. Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhannya, sedang ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun karena zhan dalam fiqh ini kuat maka ia mendekati ilmu, karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.
Dalam definisi di atas terdapat batasan atau fasal yang disamping menjelaskan hakikat dari fiqh itu sekaligus juga memisahkan arti kata fiqh itu dari yang bukan fiqh. Batasan itu adalah melalui penggunaan kata hukum, syar’iyyah, ‘amaliah dan penggunaan kata digali dan ditemukan serta kata tafsili.
Al-Amidi memeberikan definisi yang berbeda dengan yang di atas, yaitu “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal[2]
Dengan menganalisa kedua definisi di atas dapat ditemukan hakikat fiqh, yaitu
1.      Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah;
2.      Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat ‘amaliyah furu’iyah;
3.      Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa fiqh itu adalah “dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah”. Dari pengertian ini terlihat kaitan yang sangat erat antara fiqh dan syari’ah, dimana syari’ah diartikan sebagai “ketentuan yang ditetapkan Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dan akhirat”. Adapun menurut al-Syathibi, syari’ah adalah :
إِنَّ مََعْنَى الشَّرِ يْعَةِ أَ نَّـهَاتَحَدُّ لِلْمُكَلَّفِيْنَ حُدُوْدًا فِى أَفْعَالِهِمْ وَ أَقْوَا لِهِمْ وَاعْتِقَادَتِهِمْ
Artinya : “arti syari’at adalah ketentuan-ketentuan yang membuat batasan-batasan bagi para mukallaf baik mengenai perbuatan, perkataan, dan i’tiqad mereka.
Ketentuan Allah itu terbatas dalam firman dan penjelasannya melalui lisan Nabi Muhammad saw. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasul-Nya. Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah manusia itu, harus ada pemahaman mendalam tentang syari’ah, sehingga secara ‘amaliah, syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi bagaimanapun juga. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci tingkah laku mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.
3.         Pengertian Hukum Islam.
Di Indonesia, kata syari’ah sering disebut pula dengan nama hukum Islam, yang bermakna, “ketetapan Allah dan Rasul-Nya, atau ketetapan perintah Allah dan Rasul-Nya baik untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau meninggalkan larangan dan menerangkan kebolehan mengerjakan atau meninggalkan” Dalam pengertian Ushul Fiqh, Hukum Islam adalah ; “Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Rasul-Nya tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama”[3].
Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1.       Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2.       As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3.       Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4.       Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’. Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
1.      Dasar (dalil).
2.      Masalah yang akan diqiyaskan.
3.      Hukum yang terdapat pada dalil.
4.      Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).
B.     Karakteristik / ciri-ciri fiqih
Dengan seksama para ulama telah meneliti ciri-ciri khas fiqih Islam dan keistimewaan-keistimewaannya. Maka diantaranya ada yang kembali kepada tabi’i fiqih itu sendiri dan ada yang kembali kepada jalan yang dilalui fiqih menuju puncak kesempurnaan. Maka dengan ringkas dapat kita simpulkan ciri-ciri khas fiqih itu dalam beberapa kesimpulan[4]
a.       Bahwa fiqih Islam pada dasarnya kembali kepada wahyu Ilahi
b.      Bahwa fiqih Islam didorongpelaksanaannya oleh aqidah dan akhlak
c.       Bahwa pembalasan yang diperoleh dari melaksanakan hukum-hukum fiqih Islam adalah dunia dan akhirat
d.      Bahwa naz’ah (tabi’at kecenderungan) fiqih Islam adalah jama’ah
e.       Bahwa fiqih Islam menerima perkembangan sesuai dengan masa dan tempat
f.       Bahwa fiqih Islam tidak dipengaruhi oleh undang-undang buatan manusia, baik Romawi maupun yang lain-lain
g.      Bahwa tujuan susunan hidup manusia yang khusus dan umum, mendatangkan kebahagiaan alam seluruhnya.

Diantara peraturan-peraturan yang disusun Islam itu, ialah: fiqih. Maka dasar fiqih ini adalah wahyu Allah, yakni wahyu yang kita dapati didalam Al-Qur’an dan sunnatur Rosul. Selain itu karakteristik fiqih dapat dilihat dari maksud kata-kata yang menjadi rangkaian takrif sebagai berikut[5]:
1.      Segala hukum didalam takrif ialah segala perbuatan yang diberikan hukum dan segala hukumnya
2.      Hukum syara’ ialah segala hukum yang diambil dari syara’ yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw
3.      Fiqih merupakan suatu hukum yang berhubungan dengan perbuatan (‘amaliyah) ialah yang berhubungan dengan cara mengerjakannya, baik perbuatan itu berhubungan dengan hati sekalipun, seperti niat umpamanya
4.      Fiqih merupakan hukum yang diperoleh dari dalil-dalil yang jelas, yaitu diperoleh dari kitabullah, sunnah yang bersifat juz-i, ijma’ dan qiyas.
C.        Objek Kajian dan klasifikasi Objek Kajian Fiqih
Hukm-hukum fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia. Maka masalah-masalah fiqih dalam garis besarnya, dibagi dua[6]:
a.       Ibadat, yaitu: segala persoalan yang berpautan dengan urusan akhirat. Jelasnya segala perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti: shalat, shiyam, zakat, dan haji.
b.      Mu’amalat, yaitu: segala persoalan yang berpautan dengan urusan-urusan dunia dan undang-undang.
Dengan peninjauan yang singkat ini dapatlah kita menetapkan bahwa ilmu fiqih membahas :
1.      Hukum-hukum syara’ yang amaliyahnyang telah dijelaskan oleh Al Kitab dan As Sunnah.
2.      Hukum-hukum yang tidak dinaskahkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah.

Kemudian jika kita perhatikan baik-baik : pembahasan fiqih, kita bagi secara terperinci, dan kita tafshilkan pembahasan-pembahasannya, terbagilah ia kepada delapan bagian.
a.       Hukum yang menyangkut ibadat, yaitu : shalat, shiyam, zakat, hajji, jihad, dan nazar.
b.      Hukum yang berpautan dengan kekeluargaan (ahwal syakhsyiah); seperti perkawinan,talak, nafakah, wasiat, dan pusaka.
c.       Hukum mengenai mu’amalat madaniyah, seperti jual-beli, sewa-menyea, hutang-piutang, gadai, syuf’ah, hawalah, kafalah, mudlarabah, memenuhi aqad dan menunaikan amanat.
d.      Hukum-hukum yang mengenai kekayaan Negara yaitu kekayaan yang menjadi urusan baitulmal, penghasilannya macam-macam harta yang ditempatkan dalam baitulmal dan pos-pos pembelanjaannya.
e.       Hukum-hukum yang dinamai ‘uqubat, (hukum-hukum yang disyari’atkan untuk memelihara jiwa, kehormatan, dan akal manusia) seperti hukum qisas, had, dan ta’zier.
f.       Hukum-hukum yang mengenai acara pengadilan yaitu : cara mengajukan gugatan, peradilan, pembuktian, dan saksi.
g.      Hukum-hukum yang dimasukan ke dalam bidang hukum tata Negara, seperti : syarat-syarat menjadi kepala Negara, hak-hak penguasa, hak-hak rakyat, dan permusyarakatan.
h.      Hukum-hukum yang menyangkut hubungan antar bangsa (Hukum Internasional), seperti : hukum-hukum perang, tawanan, rampasan perang,perdamaian, perjanjian, jizyah, cara-cara memperlakukan ahluz zimmah dan lain-lain.
D.    Kedudukan Fiqh Dalam Islam 
fiqh itu menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang yang telah baligh dan berakal (mukallaf)”.  fiqh itu berperan sekali terhadap tingkah laku manusia yang telah baligh dan berakal dalam menempuh kehidupannya sehari-hari sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.
Dr. AbdulWahab Khallaf, dalam kitabnya Ilmu Ushul Fiqh, menjelaskan tentang ilmu Fiqh: [7]
“Seluruh hukum syari’ah, yang berkaitan dengan berbagai tindak manusia, ucapan ataupun perbuatan, seluruhnya diambil dari nash-nash yang telah ada, di samping istinbath dalil-dalil Syari’ah Islam tidak terdapat nashnya, yang kemudian digolongkan di dalam ushul fiqh.”
Manusia sebagai makhluk sosial dalam bertindak, berpikir selalu dipengaruhi oleh jiwa dan lingkungannya. Untuk membimbing manusia dalam bertindak, berucap dan berpikir dibutuhkan sekali peranan fiqh, sehingga manusia itu selamat dalam kedudukan sekarang dan akan datang.
Jadi, peranan dan kedudukan Fiqh adalah menerapkan Hukum Islam, terhadap seluruh tindakan maupun perbuatan, perkataan, tindakk-tanduk dan sebagainya; berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Hukm-hukum fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia. Maka masalah-masalah fiqih dalam garis besarnya, dibagi dua[8]:
c.       Ibadat, yaitu: segala persoalan yang berpautan dengan urusan akhirat. Jelasnya segala perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti: shalat, shiyam, zakat, dan haji.
d.      Mu’amalat, yaitu: segala persoalan yang berpautan dengan urusan-urusan dunia dan undang-undang.
B.        Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak  yang ikut adil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua jerih payah semua pihak lebih-lebih bapak dosen pengampuh yang telah memberi semangat pada kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.







DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Kuwaitiyyah, Kairo, 1968
Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul al- Ahkam, Juz IV, Daar al-Fikr,     Beirut, 1996
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, PT. Bulan Bintang , Jakarta: 1967
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, PT. Pustaka Rizki Putra , Semarang: 1997
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1972



[1] Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Kuwaitiyyah, Kairo, 1968, hlm. 32

                2 Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul al- Ahkam, Juz IV, Daar al-Fikr,     Beirut, 1996, hlm. 227

[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 5


[4] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, PT. Bulan Bintang , Jakarta: 1967 hal. 152-153

[5] Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, PT. Pustaka Rizki Putra , Semarang: 1997 hal. 22.

[6] Ibid, hal. 30-34
[7] Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1972), hal. 11.
[8] Ibid, hal. 30-34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar