BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam,
fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah,
fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak
zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih,
seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rosulullah
sahabat. Dan di masa
Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada
Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah
beliau saw.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum
semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslalah atau
metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada
nmasa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai
konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika
itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Pengertian Fiqh Dan Perbedaannya Dengan Syari’ah Dan Hukum Islam?
2. Bagaimana
Karakteristik / ciri-ciri fiqih?
3. Objek Kajian dan klasifikasi Objek Kajian Fiqih?
4. Bagaimana
Cara Menyikapi Keberagaman Corak Pemahaman Fiqih?
5. Bagaimana
kedudukan Fiqh dalam hukum islam?
C. Tujuan Masalah
- Untuk membahas Pengertian Fiqh Dan Perbedaannya Dengan Syari’ah Dan Hukum Islam
- Untuk mengetahui bagaimana Karakteristik / ciri-ciri fiqih
- Untuk mengetahui mengenai Objek Kajian dan klasifikasi Objek Kajian Fiqih.
- Untuk memperdalam wawasan ilmu Cara Menyikapi Keberagaman Corak Pemahaman Fiqih
- Unutuk mengetahui kedudukan Fiqh dalam hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Fiqh Dan Perbedaannya Dengan Syari’ah Dan Hukum Islam
1. Pengertian
Fiqh
Fiqih
menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
ِفَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ
يَفْقَهُونَ حَدِيثًا (٧٨)
“Maka
mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78)
dan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya
panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan
kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih
Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
Pengetahuan
tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan
mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil
dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As
sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.Hukum-hukum
syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang
pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin
mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh,
ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah
untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung
dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun,
kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Syariah dan Fiqih ,
adalah dua hal yang mengarahkan kita ke jalan yang benar . Dimana , Syariah
bersumber dari Allah SWT, Al-Qur'an, Nabi Muhammad SAW, dan Hadist. Sedangkan
Fiqh bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh , tetapi tetap merujuk pada
Al-Qur'an dan Hadist .
Perbedaan Syari'ah dan Fiqih
Perbedaan yang perlu diketahui yaitu :
a.
Perbedaan dalam Objek :
Syariah Objeknya meliputi bukan saja batin
manusia akan tetapi juga lahiriah manusia dengan Tuhannya (ibadah) Fiqih
Objeknya peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia,
manusia dengan makhluk lain.
b.
Perbedaan dalam Sumber Pokok
Syariah Sumber Pokoknya ialah berasal dari
wahyu ilahi dan atau kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari wahyu.
FiqihBerasal dari hasil pemikiran manusia dan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat
dalam masyarakat atau hasil ciptaan manusia dalam bentuk peraturan atau UU
Perbedaan dalam Sanksi Syariah Sanksinya adalah pembalasan Tuhan di Yaumul
Mahsyar, tapi kadang-kadang tidak terasa oleh manusia di dunia ada hukuman yang
tidak langsung Fiqih Semua norma sanksi
bersifat sekunder, dengan Menunjuk sebagai Pelaksana alat pelaksana Negara
sebagai pelaksana sanksinya.
c.
Perbedaan Pokok
1.
Syariah
a. Berasal dari
Al-Qur'an dan As-sunah
b. Bersifat
fundamental
c.
Hukumnta bersifat Qath'i (tidak berubah)
d. Hukum
Syariatnya hanya Satu (Universal)
e.
Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam
Al-Qur'an
2.
Fiqih
a. Karya Manusia
yang bisa Berubah Bersifat Fundamental
b. Hukumnya dapat
berubah
c.
Banyak berbagai ragam
d. Bersal dari
Ijtihad para ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang dirumuskan oleh
Mujtahid
Islam
sebagai agama samawi, memiliki kitab suci al-Qur’an. Sebagai sumber utama,
al-Qur’an mengandung berbagai ajaran. Di kalangan ulama ada yang membagi
kandungan al-Qur’an kepada tiga kelompok besar, yaitu aqidah,
khuluqiyyah
dan ‘amaliah.
Aqidah
berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyah berkaitan dengan etika
atau akhlak. Dan amaliah berkaitan dengan
aspek-aspek hukum yang muncul dari aqwal (ungkapan-ungkapan), dan af’al
(perbuatan-perbuatan manusia). Kelompok terakhir (‘amaliah) ini, dalam sistematika
hukum Islam dibagi ke dalam dua besar. Pertama ; Ibadat, yang di dalamnya
diatur pola hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua ; mu’amalah, yang di dalamnya
diatur pola hubungan antara sesama manusia.[1]
Hukum
tentang ‘amaliah
kemudian lebih dikenal dengan sebutan fiqh, yang bearti “paham yang mendalam”.
Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka fiqh
berarti paham yang menyampaikan ilmu zahir kepada ilmu bathin. Karena itulah
at-Tirmizi menyebutkan “fiqh tentang sesuatu”, berarti mengetahui batinnya
sampai kepada ke dalamannya.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa fiqhun atau paham tidak sama dengan
‘ilmu
walaupun wazan
lafaznya sama. Meskipun belum menjadi ilmu, paham adalah pikiran yang baik dari
segi kesiapannya menangkap apa yang yang dituntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zhanni
seperti paham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang hukum yang zhanni
dalam dirinya.
Secara
definitif, fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah
yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili”. Dalam definisi ini fiqh
diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh
itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan di atas, fiqh itu bersifat zhanni.
Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhannya, sedang ilmu
tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun karena zhan
dalam fiqh ini kuat maka ia mendekati ilmu, karenanya dalam definisi ini ilmu
digunakan juga untuk fiqh.
Dalam
definisi di atas terdapat batasan atau fasal yang disamping menjelaskan hakikat
dari fiqh itu sekaligus juga memisahkan arti kata fiqh itu dari yang bukan
fiqh. Batasan itu adalah melalui penggunaan kata hukum, syar’iyyah,
‘amaliah
dan penggunaan kata digali dan ditemukan serta kata tafsili.
Al-Amidi
memeberikan definisi yang berbeda dengan yang di atas, yaitu “Ilmu tentang
seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah
yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”[2]
Dengan
menganalisa kedua definisi di atas dapat ditemukan hakikat fiqh, yaitu
1.
Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah;
2.
Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat ‘amaliyah
furu’iyah;
3.
Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran
dan istidlal
seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa fiqh itu
adalah “dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan
hukum Allah”. Dari pengertian ini terlihat kaitan yang sangat erat antara fiqh
dan syari’ah, dimana syari’ah diartikan sebagai “ketentuan yang ditetapkan
Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dan akhirat”. Adapun menurut
al-Syathibi, syari’ah adalah :
إِنَّ مََعْنَى الشَّرِ يْعَةِ أَ نَّـهَاتَحَدُّ لِلْمُكَلَّفِيْنَ
حُدُوْدًا فِى أَفْعَالِهِمْ وَ أَقْوَا لِهِمْ وَاعْتِقَادَتِهِمْ
Artinya : “arti
syari’at adalah ketentuan-ketentuan yang membuat batasan-batasan bagi para
mukallaf baik mengenai perbuatan, perkataan, dan i’tiqad mereka.
Ketentuan
Allah itu terbatas dalam firman dan penjelasannya melalui lisan Nabi Muhammad
saw. Semua tindakan manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu
harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasul-Nya. Untuk mengetahui keseluruhan
apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah manusia itu, harus ada pemahaman
mendalam tentang syari’ah, sehingga secara ‘amaliah, syari’ah dapat diterapkan
dalam kondisi dan situasi bagaimanapun juga. Hasil pemahaman itu dituangkan
dalam bentuk ketentuan yang terinci. Ketentuan terinci tingkah laku mukallaf
yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu
disebut fiqh.
3.
Pengertian Hukum Islam.
Di Indonesia, kata syari’ah sering disebut pula dengan nama hukum
Islam, yang bermakna, “ketetapan Allah dan Rasul-Nya, atau ketetapan perintah
Allah dan Rasul-Nya baik untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau meninggalkan
larangan dan menerangkan kebolehan mengerjakan atau meninggalkan” Dalam
pengertian Ushul Fiqh, Hukum Islam adalah ; “Seperangkat peraturan berdasarkan
wahyu Allah dan Rasul-Nya tentang tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama”[3].
Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam
kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al
Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk
menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia
adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu
permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna
mencari hukumnya.
Sebagai
contoh:
Bila
kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan
dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan
mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila
kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal
tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak
contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah
yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau
persetujuan.
Contoh
perkataan/sabda Nabi:
“Mencela
sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no.
46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu
Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh
perbuatan:
Apa yang
diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.
3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa
yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu
keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk
menunaikannya.”
Contoh
persetujuan:
Apa yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat
seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya
belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu
Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui
disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi
yang belum menunaikannya.
As-Sunnah
adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari
suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib
mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar
bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As
Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan
umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as
Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana
pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al
Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’
bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu
generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama
tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at
maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi
suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang
dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam
kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu
Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya
Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di
atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma
para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama
anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’
merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an
dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah
hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka
wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu:
Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan
perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan
sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak
mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al
Qur’an, sunnah maupun ijma’. Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al
Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun
Qiyas
Qiyas
memiliki empat rukun:
1. Dasar
(dalil).
2. Masalah
yang akan diqiyaskan.
3. Hukum
yang terdapat pada dalil.
4. Kesamaan
sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah
mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya
adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan
minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita
menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau
alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut,
sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah
sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam,
kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di
dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).
B. Karakteristik / ciri-ciri fiqih
Dengan seksama para ulama telah meneliti ciri-ciri khas
fiqih Islam dan keistimewaan-keistimewaannya. Maka diantaranya ada yang kembali
kepada tabi’i fiqih itu sendiri dan ada yang kembali kepada jalan yang
dilalui fiqih menuju puncak kesempurnaan. Maka dengan ringkas dapat kita
simpulkan ciri-ciri khas fiqih itu dalam beberapa kesimpulan[4]
a.
Bahwa fiqih Islam pada
dasarnya kembali kepada wahyu Ilahi
b.
Bahwa fiqih Islam
didorongpelaksanaannya oleh aqidah dan akhlak
c.
Bahwa pembalasan yang
diperoleh dari melaksanakan hukum-hukum fiqih Islam adalah dunia dan akhirat
d.
Bahwa naz’ah (tabi’at
kecenderungan) fiqih Islam adalah jama’ah
e.
Bahwa fiqih Islam menerima
perkembangan sesuai dengan masa dan tempat
f.
Bahwa fiqih Islam tidak
dipengaruhi oleh undang-undang buatan manusia, baik Romawi maupun yang
lain-lain
g.
Bahwa tujuan susunan hidup
manusia yang khusus dan umum, mendatangkan kebahagiaan alam seluruhnya.
Diantara
peraturan-peraturan yang disusun Islam itu, ialah: fiqih. Maka dasar fiqih ini
adalah wahyu Allah, yakni wahyu yang kita dapati didalam Al-Qur’an dan sunnatur
Rosul. Selain itu karakteristik fiqih dapat dilihat dari maksud kata-kata yang
menjadi rangkaian takrif sebagai berikut[5]:
1.
Segala hukum didalam
takrif ialah segala perbuatan yang diberikan hukum dan segala hukumnya
2.
Hukum syara’ ialah segala
hukum yang diambil dari syara’ yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw
3.
Fiqih merupakan suatu
hukum yang berhubungan dengan perbuatan (‘amaliyah) ialah yang
berhubungan dengan cara mengerjakannya, baik perbuatan itu berhubungan dengan
hati sekalipun, seperti niat umpamanya
4.
Fiqih merupakan hukum yang
diperoleh dari dalil-dalil yang jelas, yaitu diperoleh dari kitabullah, sunnah
yang bersifat juz-i, ijma’ dan qiyas.
C.
Objek Kajian dan
klasifikasi Objek Kajian Fiqih
Hukm-hukum fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia. Maka
masalah-masalah fiqih dalam garis besarnya, dibagi dua[6]:
a.
Ibadat, yaitu: segala
persoalan yang berpautan dengan urusan akhirat. Jelasnya segala perbuatan yang
dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti: shalat, shiyam,
zakat, dan haji.
b.
Mu’amalat, yaitu: segala
persoalan yang berpautan dengan urusan-urusan dunia dan undang-undang.
Dengan peninjauan yang
singkat ini dapatlah kita menetapkan bahwa ilmu fiqih membahas :
1.
Hukum-hukum syara’ yang
amaliyahnyang telah dijelaskan oleh Al Kitab dan As Sunnah.
2.
Hukum-hukum yang tidak
dinaskahkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah.
Kemudian jika kita
perhatikan baik-baik : pembahasan fiqih, kita bagi secara terperinci, dan kita
tafshilkan pembahasan-pembahasannya, terbagilah ia kepada delapan bagian.
a.
Hukum yang menyangkut
ibadat, yaitu : shalat, shiyam, zakat, hajji, jihad, dan nazar.
b.
Hukum yang berpautan
dengan kekeluargaan (ahwal syakhsyiah); seperti perkawinan,talak,
nafakah, wasiat, dan pusaka.
c.
Hukum mengenai mu’amalat
madaniyah, seperti jual-beli, sewa-menyea, hutang-piutang, gadai, syuf’ah,
hawalah, kafalah, mudlarabah, memenuhi aqad dan menunaikan amanat.
d.
Hukum-hukum yang mengenai
kekayaan Negara yaitu kekayaan yang menjadi urusan baitulmal, penghasilannya
macam-macam harta yang ditempatkan dalam baitulmal dan pos-pos pembelanjaannya.
e.
Hukum-hukum yang dinamai ‘uqubat,
(hukum-hukum yang disyari’atkan untuk memelihara jiwa, kehormatan, dan akal
manusia) seperti hukum qisas, had, dan ta’zier.
f.
Hukum-hukum yang mengenai
acara pengadilan yaitu : cara mengajukan gugatan, peradilan, pembuktian, dan
saksi.
g.
Hukum-hukum yang dimasukan
ke dalam bidang hukum tata Negara, seperti : syarat-syarat menjadi kepala
Negara, hak-hak penguasa, hak-hak rakyat, dan permusyarakatan.
h.
Hukum-hukum yang
menyangkut hubungan antar bangsa (Hukum Internasional), seperti : hukum-hukum
perang, tawanan, rampasan perang,perdamaian, perjanjian, jizyah, cara-cara
memperlakukan ahluz zimmah dan lain-lain.
D. Kedudukan
Fiqh Dalam Islam
fiqh itu
menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan perbuatan
orang-orang yang telah baligh dan berakal (mukallaf)”. fiqh itu berperan sekali terhadap tingkah
laku manusia yang telah baligh dan berakal dalam menempuh kehidupannya
sehari-hari sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.
Dr.
AbdulWahab Khallaf, dalam kitabnya Ilmu Ushul Fiqh, menjelaskan tentang
ilmu Fiqh: [7]
“Seluruh hukum syari’ah, yang berkaitan dengan
berbagai tindak manusia, ucapan ataupun perbuatan, seluruhnya diambil dari
nash-nash yang telah ada, di samping istinbath dalil-dalil Syari’ah Islam tidak
terdapat nashnya, yang kemudian digolongkan di dalam ushul fiqh.”
Manusia sebagai makhluk sosial dalam bertindak,
berpikir selalu dipengaruhi oleh jiwa dan lingkungannya. Untuk membimbing
manusia dalam bertindak, berucap dan berpikir dibutuhkan sekali peranan fiqh,
sehingga manusia itu selamat dalam kedudukan sekarang dan akan datang.
Jadi, peranan dan kedudukan Fiqh adalah
menerapkan Hukum Islam, terhadap seluruh tindakan maupun perbuatan, perkataan,
tindakk-tanduk dan sebagainya; berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengetahuan
tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan
mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil
dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As
sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Hukm-hukum fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia. Maka
masalah-masalah fiqih dalam garis besarnya, dibagi dua[8]:
c.
Ibadat, yaitu: segala
persoalan yang berpautan dengan urusan akhirat. Jelasnya segala perbuatan yang
dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, seperti: shalat, shiyam,
zakat, dan haji.
d.
Mu’amalat, yaitu: segala
persoalan yang berpautan dengan urusan-urusan dunia dan undang-undang.
B.
Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang ikut adil wawasannya dalam penulisan ini. Tak
lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan
kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua jerih payah
semua pihak lebih-lebih bapak dosen pengampuh yang telah memberi semangat pada
kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Dar
al-Kuwaitiyyah, Kairo, 1968
Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad
al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul al- Ahkam, Juz
IV, Daar al-Fikr, Beirut, 1996
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
Prof. Dr. T. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, PT. Bulan Bintang , Jakarta:
1967
Prof. Dr. T. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, PT. Pustaka Rizki Putra ,
Semarang: 1997
Abd. Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1972
[1]
Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Dar
al-Kuwaitiyyah, Kairo, 1968, hlm. 32
2 Syaifuddin Abi al-Hasan Ali
bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul al- Ahkam,
Juz IV, Daar al-Fikr, Beirut, 1996,
hlm. 227
[4]
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih,
PT. Bulan Bintang , Jakarta: 1967 hal. 152-153
[5]
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum
Islam, PT. Pustaka Rizki Putra , Semarang: 1997 hal. 22.
[7] Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dewan
Dakwah Islamiyah, 1972), hal. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar