FIQIH,
MAKALAH MUDHARABAH (Kerjasama Bagi Hasil)
DAFTAR
ISI
I.
KATA PENGANTAR...................................................................................2
II.
DAFTAR ISI..................................................................................................3
III.
MUDHARABAH...........................................................................................4
1.
Pengertian............................................................................................4
2.
Hukum
Mudharabah............................................................................4
3.
Rukun dan
Syarat Mudharabah...........................................................5
4.
Macam-macam
Mudharabah...............................................................7
IV.
MUSAQOH....................................................................................................7
1.
Pengertian dan
Dasar Hukum..............................................................7
2.
Rukun dan
Syarat
Musaqoh.................................................................8
3.
Hukum-hukum
yang Terkait Dengan Al-Musaqoh..............................9
4.
Berakhirnya
Akad Musaqoh................................................................10
V.
MUSYARAKAH............................................................................................11
1.
Pengertian.............................................................................................11
2.
Dasar
Hukum........................................................................................12
3.
Macam-macam
Musyarakah.................................................................12
4.
Syarat-syarat
Musyarakah.....................................................................14
5.
Rukun-rukun
Musyarakah.....................................................................14
VI.
MUZARA’AH.................................................................................................15
1.
Pengertian..............................................................................................15
2.
Hukum Muzara’ah.................................................................................16
3.
Rukun-rukun
Muzara’ah........................................................................16
4.
Syarat – syarat
Muzara’ah......................................................................16
5.
Akibat Akad
Muzara’ah.........................................................................17
VII.
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................18
MUDHARABAH ( Kerjasama Bagi Hasil )
I.
Pengertian
Salah satu bentuk kerjasama anatara
pemilik modal dengan seseorang, yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh islam
disebut dengan mudharobah, yang oleh
ulama fiqh Hijaz menyebutnya dengan qiradh.
Secara termonologi, para ulama fiqh
mendefinisikan mudharobah atau qiradh dengan:
أﻥ يد فع ا لما لك إلى العا مل ما لا
يتجر فيه و يكو ن الر بح مشتر كا
Pemilik
modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan,
sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut
kesepakatan bersama.
Apabila terjadi kerugian dalam
perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal.
Definisinya ini menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar dagang)
itu adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.
II.
Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya
Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling
membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang.
Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan
memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan
yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam
pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama
antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan
memproduktifkan modal itu.
Alasan yang dikemukakan para ulama
fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah firman Allah dalam surat
al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:
...و ا خر و ن يضر بو ن فى ا لأ ر ض يبتغو ن من فضل ا لله
…dan
sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah…
Dan
surat al-Baqarah, 2: 198 berikut:
ليس عليكم جنا ح أ ن تبتغوا فضلا من ربكم ...
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan)
dari Tuhanmu…
Kedua ayat di atas,
secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerja sama
mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah
SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah
yang dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya:
Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya
(kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia
mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga
jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang
sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka
pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn
‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya.
(HR ath-Thabrani).
III. Rukun dan Syarat mudharabah
Terdapat perbedaan pandangan ulama
Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad mudharabah. Ulama Hanafiyah,
menyatakan bahwa rukun mudharabah adalah
ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :
1. Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )
2. Modal, pekerjaan, dan keuntungan
3. Shigat ( ijab qabul)
Adapun syarat – syarat mudharabah,
sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a. Yang terkait dengan orang yang
melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai
wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah
wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga
berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b. Yang terkait dengan modal,
disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas jumlahnya, (3)tunai, (4)diserahkan
sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu
berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk
menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh
dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah
(titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah.
Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian
tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan
Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan
boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak
menganggu kelancaran usaha itu.
c. Yang terkait dengan keuntungan,
disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing – masing
diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau
seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah,
akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan
bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini
batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Atas dasar syarat – syarat di atas,
ulama Hanafiyah membagi bentukbakad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu
mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah fasidah ( mudharabah
yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut
ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya berhak menerima upah
kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang di daerah itu,
sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah
menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam
mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.
IV. Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang
dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan modal
secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan
tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola
modal itu selama profitable.
Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah,
pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal.
Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan
suppliernya.
Jika suatu akad
mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai
berikut :
- Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
- Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama profitable.
- Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa.
MUSAQOH
I.
Pengertian dan Dasar Hukum
Secara sederhana musaqoh diartikan
dengan kerja sama dalam perawatan tanaman dengan imbalan dari hasil yang
diperoleh dari tanaman tersebut.
Yang dimaksud dengan “tanaman” dalam
akad ini adalah tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan
buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan
getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayunya.
Dasar hukum bolehnya adalah hadist
nabi yang mempekerjakan penduduk khaibar yang disebutkan di atas, yang
kerjasama pertanian tersebut juga mencakup merawat tanaman. Sedangkan bagian
ulama memandangnya sebagai muamalah upah mengupah, berpendapat tidak boleh
karena upah tidak boleh dari hasil kerja tapi dalam bentuk nilai uang yang
sudah pasti sesuai dengan perjanjian.
II.
Rukun dan syarat musaqoh
Ulama hanafiah berpendirian bahwa
yang menjadi rukun dalam akad al-musaqoh adalah ijab dari pemilik
tanah perkebunan dan qobul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari
pihak petani penggarap.
Sedangkan jumhur ulama yang terdiri
atas ulama malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah berpendirian bahwa transaksi
al-musaqah harus memenuhi lima rukun, yaitu :
a. Dua orang/pihak yang melakukan
transaksi
b. Tanah yang dijadikan obyek al-musaqah
c. Jenis usaha yang akan dilakukan
petani penggarap
d. Ketentuan mengenai pembagian hasil al-musaqah
e. Shigat
(ungkapan) ijab dan qabul
Adapun syarat-syarat yang harus di
penuhi oleh masing-masing rukun adalah :
1. Kedua belah pihak yang melakukan
transaksi al-musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil
baligh) dan berakal.
2. Obyek al-musaqah itu harus terdiri
atas pepohonan yang mempunyai buah. Dalam menentukan obyek al-musaqah ini
terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Menurut ulama hanafiyah yang boleh
menjadi obyek al-musaqah adalahpepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti
kurma, anggur dan terong. Namun menurut ulama Hanafiyah muta’akhirin menyatakan
al-musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika
hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah menyatakan objek al-musaqah adalah tanaman keras dan
palawija, seperti kurma, terong, apel, dan anggur; dengan syarat bahwa: (a)
akad al-musaqah itu dilakukan sebelum
buah layak panen, (b) tenggang waktu yang ditenyukan jelas, (c) akadnya
dilakukan setelah tanaman itu tumbuh, (d) pemilik perkebunan tidak mampu untuk
mengolah dan memelihara tanaman itu. Menurut ulama Hanabilah, objek al-musaqah adalah pada tanaman yang
buahnya boleh dikonsumsi. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan yang boleh
menjadi objek al-musaqah adalah hanya
kurma dan anggur saja, seperti yang dikatakan oleh sabda Rasulullah saw, yang
mengatakan: ”Rasulullah menyerahkan
perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketenyuan sebagian dari
hasilnya, baik dari buah-buahan ataupun biji-bijianmenjadi milik orang Yahudi
itu.”
3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya
kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur
tangan pemilik tanah.
4. Hasil yang dihasilkan oleh kebun itu
adalah hak mereka bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Menurut
pendapat al-Syafi’i yang terkuat sah melakukan perjajian musaqah pada kebun
yang telah berbuah, tapi buahnya belum dapat dipastikan baik (belum matang).
5. Lamanya perjanjian harus jelas,
karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi sewa menyewa, agar terhindar
dari ketidakpastian. Namun menurut Hanafiyah, penetapan jangka waktu bukanlah
suatu keharusan dalam musaqah tetapi dipahami sebagai satu cara terbaik.
Sejalan dengan ulama Hanafiyah, Daud az-Zahiri berpendapat bahwa penetapan
waktu bukan suatu syarat dan hal itu diserahkan kepada kebiasaan setempat.
III. Hukum-hukum yang Terkait Dengan
al-Musaqah
Hukum-hukum
yang berkaitan dengan akad al-musaqah yang sahih adalah:
a. Seluruh pekerjaan yang berkaitan
dengan pemeliharaan tanaman, pengairan kebun, dann segala yang dibutuhkan untuk
kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.
b. Seluruh hasil panen dari tanaman itu
menjadi milik kedua belah pihak (petani dan pemilik).
c. Jika kebun itu tidak menghasilkan
apa-apa, maka masing-masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
d. Akad al-musaqah yang telah
disepakati mengikat kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak tidak boleh
membatalkan akad itu, kecuali ada halangan yang membuat tidak mungkin untuk
melanjutkan akad yang telah disetujui itu.
e. Petani penggarap tidak boleh
melakukan akad al musaqah lain dengan pihak ketiga, kecuali atas izin dari
pemilik perkebuan pertama.
Akad al-musaqah bisa fasid apabila:
a. Seluruh hasil panen disyaratkan
menjadi pemilik salah satu pihak yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada
dalam akad itu.
b. Mensyaratkan jumlah tertentu dari
hasil panen salah satu pihak, misalnya seperti seperdua dan sebagainya, atau bagian
petani dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai serikat dalam panen
tidak ada lagi.
c. Disyaratkan pemilik kebun juga ikut
bekerja dikebun itu.
d. Disyaratkan bahwa mencangkul tanah
menjadi kewajiban petani penggarap karena dalam akad al-musaqah pekerjaan
sejenis ini bukan pekerjaan petani, karena perserikatan dilakukan hanyalah
untuk memelihara dan mengairi tanaman, bukan memulai tanam.
e. Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang
bukan merupakan kewajiban petani dan pemilik.
f. Melakukan kesepakatan terhadap
tenggang waktu.
Jika akad al-musaqah fasid maka
akibat hukumnya adalah:
a. Petani penggarap tidak boleh dipaksa
bekerja dikebun itu
b. Hasil panen seluruhnya menjadi milik
pemilik kebun, sedangkan petani penggarap tidak menerima apapun dari hasil
kebun itu, tapi ia hanya berhak mendapatkan upah yang wajar yang berlaku di
daerah itu.
IV. Berakhirnya Akad al-Musaqah
Menurut ulama fiqh, akad al-musaqah
berakhir apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam
akad habis,
b. Salah satu pihak meninggal dunia,
c. Ada uzur yang membuat salah satu
pihak tidak dapat meneruskan akad.
Uzur yang dimaksud dalam hal ini diantaranya apabila petani
penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani
penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja. Jika petani itu yang
wafat maka akli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum
panen. Sedangkan apabila pemilik perkebunan yang waafat maka pekerjaan petani
harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, maka
ahli waris kedua belah pihak boleh memilih antara meneruskan akad atau
menghentikannya.
Akan
tetapi ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad al-musaqah adalah akad yang boleh
diawarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan
hanya karena uzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah juga mengatakan bahwa
akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan karena uzur. Apabila petani memounyai
uzur maka harus ditunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk melakukan
pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad al-musaqah adalah akad yang tidak
mengikat kedua belah pihak. Oleh sebab itu salah satu pihak boleh membatalkan
akad tersebut. Jika pembatalan akad dilaksanakan setelah pohon berbuah, maka
buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap, sesuai dengan kesepakatan
yang ada.
MUSYARAKAH (
Syirkah )
I.
Pengertian
Secara
etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara
sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan . Asy-syirkah termasuk
salah satu bentuk kerja sama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang
dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang.
Secara
terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh
para ulama fiqh.
Pertama
dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, asy-syirkah adalah :
إ ذ ن فى الصرف
لهما مع أ نفسهما فى مال لهما
Suatu keizinan
untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta
mereka.
Kedua, definisi
yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Menurut mereka, asy-syirkah
adalah :
ثبو ت الحق فى
شيئ لإ ثنين فأ كثر على جهة الشيوع
Hak bertindak
hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
Pada dasarnya
definisi – definisi yang dikemukakan para ulama fiqh di atas hanya berbeda
secara redaksioanl, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah sama,
yaitu ikatan kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam perdagangan.
Dengan adanya akad asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak
yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan
berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.
II.
Dasar hukum
asy-syirkah
Akad
asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman
Allah dalam surat an-Nisa’, 4: 12 yang berbunyi :
...فهم شر كا ء فى الثلث...
...maka mereka
berserikat dalam sepertiga harta...
Ayat ini
menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian warisan.
Dalam ayat lain Allah berfirman :
و إن كثيرا من
الخلطاء ليبغى بعضهم على بعض إلا اﻟﺫ ين امنوا
وعملوا لصا لحا ت وقليل ما هم...
...sesungguhnya kebanyakan dari
orang – orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian
yang lain, kecuali orang – orang beriman dan mengerjakan amal – amal saleh; dan
amat sedikit mereka ini...
Atas dasar ayat
dan hadis di atas para ulama fiqh menyatakan bahwa akad asy-syirkah mempunyai
landasan yang kuat dalam agama Islam.
III.
Macam – macam
asy-Syirkah
Para ulam fiqh
membagi asy-syirkah ke dalam dua bentuk, yaitu; 1) syirkah al-Amlak (
perserikatan dalam pemilikan ). (2) Syirkah al-‘Uquq ( perserikatan
berdasarkan suatu akad ).
1.
Syirkah al-Amlak
Syirkah dalam
bentuk ini, menurut ulama fiqh, adalah dua orang atau lebih memiliki harta
bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy-syirkah. Asy-syirkah dalam
kategori ini,
selanjutnya mereka bagi pula menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Syirkah ikhtiar ( perserikatan dilandasi pilihan
orang yang berserikat ), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hokum
orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli sebuah barang, atau
mereka menerima harta hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua
orang itu menerima pemberian hibah, hibah, wasiat, awakaf itu dan menjadi milik
mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama
atau yang dihibahkan, diwakafkan, atau yang diwariskan orang itu menjadi harta
serikat bagi mereka berdua.
b. Syirkah jabar ( perserikatan yang muncul secara
paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat ), yaitu sesuatu yang
ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari mereka,
seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta itu
menjadi milik bersama orang – orang yang menerima warisan itu.
Dalam kedua bentuk syirkah al-Amlak, menurut
para pakar fiqh, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai
dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri secar hukum. Apabila
masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin
dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta
orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak
ini dibahas oleh para ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan
wakaf.
2. Syirkah al-Uquq
Syirkah dalam bentuk ini maksudnya
adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam
perserikatan modal dan keuntungannya. Terdapat perbedaan pendapat para ulam
fiqh tentang bentuk-bentuk serikat yang termasuk ke dalam syirkah al-‘uquq.
Ulama Hanabilah membaginya ke dalam
lima bentuk, yaitu :
a. Syirkah al-‘inan ( penggabungan harta atau modal dua
orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya ).
b. Syirkah al-mufawadhah ( perserikatan yang modal semua
pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya
harus sama dan keuntungannya dibagi rata ).
c. Syirkah al-abdan ( perserikatan dalam bentuk kerja
yang hasilnya dibagi bersama ).
d. Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).
e. Syirkah al-mudharabah ( bentuk kerjasama antara pemilik
modal dengan seorang yang punya kepakaran dagang, dan keuntungannya dibagi
bersama)
Ulama Malikiyah dan dan Syafi’iyah membaginya ke dalam empat
bentuk :
a. Syirkah al-‘inan.
b. Syirkah al-mufawadhah.
c. Syirkah al-abdan.
d. Syirkah al-wujuh.
Ulama Hanafiyah membagi syirkah ke dalam tiga bentuk yaitu :
a. Syirkah al-anwal ( perserikatan dalam modal/harta ).
b. Syirkah al-a’mal ( perserikatan dalam kerja ).
c. Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).
IV. Syarat – syarat asy-syirkah
Perserikatan ke dalam dua bentuknya
di atas, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-‘uquq mempunyai
syarat – syarat umum, yaitu:
a. Perserikatan itu merupakan transaksi
yang boleh diwakilkan. Artinya, salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap
obyek perserikatan itu, dengan izin pihak lain. Dianggap sebagai wakil seluruh
pihak yang berserikat.
b. Persentase pembagian keuntungan
untuk masing – masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya
akad.
c. Keuntungan itu diambilkan dari hasil
laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
V.
Rukun – rukun Musyarakah
a. Para pihak yang bersyirkah.
b. Porsi kerjasama.
c. Proyek/usaha ( masyru’ ).
d. Ijab qabul ( sighat ).
e. Nisbah bagi hasil.
Pada
bidang perbankan misalnya, penerapan musyarakah dapat berwujud hal-hal berikut
ini.
1. Pembiayaan proyek. Musyarakah
biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan dimana nasabah dan bank sama-sama
menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai,
nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
2. Modal ventura. Pada lembaga keuangan
khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan,
musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan
untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau
menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
MUZARA’AH
atau MUKHABARAH
I.
Pengertian
Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di
bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam
terminology fiqh terdapat beberapa definisi al-muzara’ah yang
dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikan dengan:
الشر كة فى الزرع
Perserikatan
dalam pertanian.
Menurut ulama Hanabilah mendefinisikan
dengan:
د فع الأرض إلى
من يزر عها أو يعمل عليها واﻠﺯرع بينهما
Penyerahan
tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
Kedua definisi ini dalam Indonesia
disebut sebagai “paroan sawah” Penduduk
Irak menyebutnya “al-Mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang
akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Imam asy-Syafi’iyah mendefinisikan al-mukhabarah
dengan:
عمل الأرض ببعض
ما يخرج منها واﻟﺒﻨ ر من العا مل
Pengolahan
tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah.
Dalam al-mukhabarah, bibit yang
akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang dalam al-muzara’ah
bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
II.
Hukum Akad
al-muzara’ah
Dalam membahas hukum al-muzara’ah
terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah ( 80-150 H/699-767 M )
dan Zufar ibn Huzail ( 728-774 M ), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad
al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil,
seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn
Huzail adalah sebuah hadis berikut:
أن رسو ل الله
عليه وسلم نهى عن المهخا برة.
﴿رواه مسلم عن جا
بر بن عبد الله﴾
Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn Abdillah ).
Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzara’ah,
sekalipun dalam al-mukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari
pemilik tanah.
Dalam riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan:
أن رسول الله
صلى الله عليه و سلم نهى عن المزرعة.
﴿رواه
مسلم عن ثا بت بن الضحا ك﴾
Rasulallah melarang al-muzara’ah ( HR Muslim ).
III.
Rukun al-Muzara’ah
Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah,
mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah.
Rukun al-muzara’ah menurut mereka adalah:
a.
Pemilik tanah.
b.
Petani
penggarap.
c.
Obyek al-muzara’ah.
d.
Ijab dan qabul.
IV.
Syarat-syarat al-Muzara’ah
Adapun syarat-syarat al-muzara’ah,
menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan
ditanam, tanah yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut
jangka waktu berlakunya akad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan
ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu—benih yang
ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah
pertanian adalah:
a.
Menurut adat
dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah
itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak dimungkinkan untuk
dijadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b.
Batas-batas
tanah itu jelas.
c.
Tanah itu
diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa
pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak
sah.
Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen adalah sebagai
berikut:
a.
Pembagian hasil
panen bagi masing-masing pihaki harus jelas.
b.
Hasil itu
benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c.
Pembagian hasil
panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad,
sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan penentuanya tidak boleh
berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja,
atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah
itu atau dapat juga jauh melampaui kumlah itu.
V.
Akibat akad al-Muzara’ah
Menurut jumhur ulama yang membolehkan
akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka
akibat hukumnya adalah sebagai berikut:
a.
Petani
bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian
itu.
b.
Biaya pertanian
seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh
petani dan pemilik tanh sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
c.
Hasil panen
dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Latif Azharudin. 2005. Fiqh Muamalat. UIN Jakarta
Press: Jakarta.
Haroen Nasrun . 2000. Fiqh Muamalah. Gaya Media
Pratama: Jakarta.
Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Ghayarni.
2004. Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer. Pustaka Progressif: Surabaya.
Rodoni Ahmad, Hamid Abdul. 2008. Lembaga
Keuangan Syariah. Zikrul Hakim: Jakarta.
Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga
Keuangan Lain. Raja Grafindo: Jakarta.
Ali Sakti. 2007. Ekonomi Islam.
Aqsa Publishing: Jakarta.
Shalah ash Shawi. Abdullah al-Mushlih.
2001. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq: Jakarta.
H Ibrahim Lubis. 1995. Ekonomi Islam
Suatu Pengantar. Kalam Mulia: Jakarta.
Ahmad M Saepudin. 1987. Ekonomi dan
Masyarakat Dalam Perspektif IslamI. Rajawali Pers: Jakarta.
Suhendi Hendi. 2002. Fiqh Muamalah.
Grafindo: Jakarta
Azhar Basyir, Ahmad. 2004. Asas-asas
Hukum Muamalah. Uii Press: Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar