BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan roh menjadi sebuah teka-teki bagi manusia;
sejak dari masa sebelum Al-masih, masalah jiwa manusia atau roh ini menjadi
bahan pembahasan pokok dalam dunia filosofi. Dimulai dari masa Socrates, Plato,
Aristoteles, sampai Neo-Platonik, manusia berusaha untuk menerka apa dan
bagaimana hakikat dari roh itu? Apakah itu riil ada atau hanya sebuah kiasan
kata yang tidak mempunyai bentuk makna sama sekali.
Adalah Socrates yang beranggapan bahwa badan
manusia adalah alat dari jiwa manusia yang diibaratkan dengan kapal dan
nahkodanya: nahkodanya adalah jiwa dan kapalnya badan, dan badan tidak lebih
dari sekedar alat bahkan dianggap sebagai penjara bagi jiwa, karena dengan
adanya jiwa dalam tubuh itu membuat jiwa tidak bebas bergerak dan berfikir.
Alasan inilah yang menyebabkan dia tidak menolak atau lari dari hukuman yang
dijatuhkan kepadanya untuk minum racun, dan ia malah menyambutnya dengan senang
hati karena ia akan terlepas dari penjara badan dan akan bebas untuk berfikir.
Plato adalah murid dari Socrates yang memiliki
pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Socrates, dia menganggap bahwa dunia
ini dan segala yang ada hanyalah bayangan dari sebuah alam, alam lain, yang
terpisah dari alam ini, yang disebut alam ideal (alam hakiki), dan segala yang
ada di alam ini adalah semu. Dengan demikian badan kita bukanlah badan
sebenarnya, menurut dia, karena masih ada alam lain yang merupakan alam
sebenarnya.
Datang setelah Plato, sebuah aliran baru yang bernama
aliran Aristoteles, yang lebih rasionalis dan mengembalikan pikiran manusia
dari dunia khayal atau dunia langit ke bumi, karena dia memandang segala
sesuatu atas apa yang terjadi atau fakta, dia tidak meyakini akan adanya alam
ideal, dan ia menganggapnya ia hanyalah sebuah istilah yang tidak ada dalam
realita. maka diapun beranggapan bahwa jiwa itu mati setelah badannya mati.
Demikian asumsi-asumsi atau pandangan para pendahulu
filosof tentang jiwa manusia. Dan pikiran inilah yang pertama kali menjadi
perbincangan para pendahulu Eropa yang mengambil pemikiran filsafat Yunani dari
terjemahan dan karangan bangsa Muslim Arab, terutama Ibnu Rusydi (Averroes) dan
Ibnu Sina (Avicenna) yang masuk Eropa lewat Andalusia (Spanyol) ketika masa
ekspansi Islam yang dilakukan oleh Daulah Umawiyah yang terkenal dengan masa
kejayaan Islam dengan budaya ilmiyahnya dan melahirkan banyak tokoh berpengaruh
dalam permulaan pengembangan ilmu pengetahuan Eropa yang sebelumnya sempat
macet selama berada dalam masa kegelapan, dan ilmu pengetahuan hanya terbatas
pada kaum gereja.
Terdapatlah sebuah gerakan terkenal dengan nama
Averroeism di Eropa, yang beraliran Aristotelian, disamping yang dibawa oleh
St. Thomas Equinas. Diantara pengikut dan pembela Averroism ini adalah Seagar
Baraban; dia beranggapan bahwa jiwa itu ikut mati dengan matinya jasad, dan dia
beranggapan bahwa balasan perbuatan manusia tidak harus di akhirat, bisa
terjadi di dunia; namun demikian, dia tidak sampai berpendapat sebagaimana John
Scout Eurigiena yang beranggapan bahwa siksa dan pahala itu adalah perasaan
yang kita rasakan di dunia ini: perasaan menyesal dan tersiksa ketika kita
melakukan kesalahan, dan perasaan senang dan bahagia ketika melakukan kebaikan.
Namun, perdebatan tentang asal usul roh dan jiwa ini
mengalami masa surut dan hampir terhapus, tepatnya menjelang memasuki abad 14.
dimulai dari munculnya seorang filosof yang bernama William Okam yang
mengkritik pendapat St. Thomas Aquinas dan kaum Skolastik tentang bukti adanya
Tuhan dan yang sejenisnya, dia tidak mempercayai kecuali apa yang ada dan bisa
disaksikan, dia menganggap bahwa jiwa manusia tidak bisa dibuktikan
keberadaannya. Dengan demikian dia tidak mempercayai adanya jiwa atau roh
manusia maupun kekelannya untuk mendapatkan pembalasan atas apa yang telah
dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas maka permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah gejala umum kejiwaan manusia dan proses
berpikir manusia dalam pemecahan masalah.
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
gejala umum kejiwaan manusia dan proses berpikir manusia dalam pemecahan
masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Jiwa Manusia
Dalam
berbagai agama
dan filsafat,
jiwa adalah bagian yang bukan
jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran
dan kepribadian dan sinonimous dengan roh, akal, atau awak diri. Di dalam teologi,
jiwa dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama
mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda
mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme.
Penggunaan
istilah jiwa dan roh seringkali sama, meskipun kata yang pertama lebih sering
berhubungan dengan keduniaan dibandingkan kata yang kedua. Jiwa
dan psyche bisa juga digunakan secara sinonimous, meskipun psyche lebih
berkonotasi fisik, sedangkan jiwa berhubungan dekat dengan metafisik
dan agama.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jiwa
memiliki arti roh
manusia (yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup); nyawa.
B. Gejala Umum Kejiwaan
Manusia
Manusia
diciptakan oleh Allah SWT melalui fase-fase pertumbuhan dan perkembangan, yang
dalam prosesnya mengalami interaksi (saling mempengaruhi) antara kemampuan
dasar (pembawaan) dengan kemampuan yang diperoleh (hasil belajar/pengaruh
lingkungan). Terdapat perbedaan pendapat dalam pengertian pertumbuhan
perkembangan pertumbuhan diartikan ahli biologi sebagai suatu penambahan dalam
ukuran bentuk, berat atau ukuran dimensi tubuh, perkembangan dimaksudkan untuk
menunjukkan perubahan-perubahan dalam bentuk atau bagian tubuh dan integrasi
berbagai bagiannya ke dalam suatu kesatuan fungsional, bila pertumbuhan itu
berlangsung.
Langfeld
dan boring, menggunakan pengairan kematangan untuk pertumbuhan, sedang,
perkembangan, diterapkan pada baik sebelum tingkah laku yang tidak dipelajari
itu terjadi, maupun sebelum terjadinya proses belajar dari tingkah laku yang
khusus. Istilah “kematangan” mencakup didalamnya pengertian pertumbuhan dan
perkembangan, maka seseorang telah dianggap “matang”, apabila fisik dan
psikisnya masalah pertumbuhan dan perkembangan, telah mengalami pertumbuhan dan
perkembangan sampai pada tingkat-tingkat tertentu.
Sedangkan istilah “perkembangan” adalah berhubungan erat dengan pertumbuhan maupun kemampuan-kemampuan pembawaan dari tingkah laku yang pekat terhadap rangsangan-rangsangan sekitar.
Sedangkan istilah “perkembangan” adalah berhubungan erat dengan pertumbuhan maupun kemampuan-kemampuan pembawaan dari tingkah laku yang pekat terhadap rangsangan-rangsangan sekitar.
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa pertumbuhan berkenaan dengan penyempurnaan,
sedangkan perkembangan dengan penyempurnaan fungsi. Baik pada pertumbuhan
maupun pada perkembangan tersangkut pula perihal kematangan yang merupakan masa
yang terbaik bagi berfungsinya/perkembangannya dengan cepat aspek “kepribadian
tertentu”. Pada proses perkembangan manusia, perubahan meliputi beberapa aspek
baik fisik maupun psikis, perubahan tersebut dapat dibagi menjadi empat
kategori utama, yaitu: 1) perubahan dalam ukuran, 2) perubahan dalam
perbandingan, 3) berubah untuk mengganti hal-hal yang lam, 4) berubah untuk
memperoleh hal-hal yang baru.
1. Perkembangan Jiwa Manusia
Di
dalam psikologi, proses sensasi dan persepsi berbeda sensasi ialah penerimaan
stimulus melalui ialah indera, sedangkan persepsi adalah menafsirkan stimulus
yang telah ada dalam otak. Sensasi tanpa persepsi/sensasi murni jarang terjadi
sensasi murni mungkin terjadi dalam peristiwa dimana rangsang warna ditunjukkan
untuk pertama kali kepada seseorang yang sejak lahirnya buta dan tiba-tiba
dapat melihat. Pada bayi yang baru lahir, bayangan-bayangan yang sampai ke otak
masih bercampur aduk, sehingga belum dapat membedakan benda-benda dengan jelas.
Makin besar anak itu makin baiklah struktur susunan syarat otaknya sehingga
mampu mengenali obyek satu persatu.
2. Belajar dan Berfikir
Belajar
adalah suatu proses dimana suatu tingkah laku ditimbulkan atau diperbaiki
melalui serentetan reaksi atas situasi/rangsang yang terjadi. Pada manusia
proses belajar tidak hanya menyangkut aktifitas berfikir saja, tetapi terutama menyangkut
kegiatan otak, yaitu berfikir. Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prose belajar yaitu;
a.
Waktu istirahat, dalam waktu
istirahat sebaiknya tidak banyak melakukan kegiatan yang mengganggu pikiran,
b.
Pengetahuan tentang materi yang
dipelajari secara menyeluruh. Untuk melakukan hal ini diperlukan taraf
kecerdasan yang relatif tinggi.
c.
Pengertian terhadap materi yang
dipelajari, tanpa pengertian kita akan mendapat kesulitan.
d.
Pengetahuan akan prestasi sendiri.
Pengetahuan dan prestasi sendiri akan mempercepat kita dalam mempelajari
sesuatu.
3. Transfer
Transfers dapat
bersifat positif. Jika hal yang lalu mempermudah proses belajar yang
sekarang/dapat juga bersifat negatif jika proses belajar yang lalu justru
mempersulit proses belajar yang sekarang. Sudah dikatakan diatas, bahwa proses
belajar pada manusia erat sekali hubungannya dengan proses berfikir, yaitu tingkah
laku yang menggunakan ide. Macam-macam kegiatan berfikir dapat kita golongkan
sebagai berikut :
a.
Berfikir asosiasi, yaitu proses
berfikir dimana suatu ide merangsang timbulnya ide lain secara bebas
b.
Berfikir terarah yaitu berfikir
yang sudah ditentukan sebelumnya dan diarahkan pada pemecahan suatu masalah. Kesimpulan
seseorang berfikir bukan saja dengan otaknya, tetapi dengan seluruh tubuhnya.
4. Mengingat
Ingatan adalah bukti
bahwa seseorang telah belajar, semua orang mengingat banyak hal setiap harinya,
tingkah laku manusia dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu yang di ingatnya
karena itu, mengingat dapat didefinisikan sebagai pengetahuan sekarang tentang
pengalaman masa lampau. Mengingat dapat terjadi dalam beberapa bentuk :
a.
Rekognisi adalah mengingat sesuatu
apabila sesuatu itu dikembangkan pada indera.
b.
Redall adalah apabila kita sadar
bahwa kita telah mengalami sesuatu dimasa lampau tanpa mengenakan pada indera
kita
c.
Reproduksi adalah mengingat dengan
cukup tepat untuk memproduksi bahan yang pernah dipelajari.
d.
Performance adalah mengingat
kebiasaan,-kebiasaan yang sangat otomatis.
Untuk melakukan
semua itu pertama-tama kita harus memperoleh materinya yang merupakan langkah
utama dalam keseluruhan proses yang bertitik puncak pada mengingat.
5. Emosi
Menurut English and
English, emosi adalah “A com plex feeling state accompanied by characteristic
motor dan glandular act ivies” (suatu keadaan perasaan yang kompleks ang
disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). Emosi merupakan warna
efektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu, baik pada tingkat
yang lemah maupun tingkat yang kuat. Warna efektif pada seseorang mempengaruhi
pula pandangan orang tersebut terhadap obyek atau situasi di sekelilingnya ia
dapat menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Emosi dapat dikelompokkan keadaan 2
bagian, yaitu:
a.
Emosi sensoris, yaitu emosi yang
ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh
b.
Emosi psikis yaitu emosi yang
mempunyai alasan-alasan kejiwaan, meliputi: perasaan intelektual, perasaan sosial,
perasaan susila, perasaan keindahan, perasaan ketuhanan
Emosi sebagai suatu
peristiwa psikologi mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Lebih bersifat subjektif daripada
peristiwa psikologi lainnya seperti pengamatan dan berfikir
b.
Bersifat fluktuatif (tidak tetap)
c.
Banyak bersangkut paut dengan
peristiwa pengenalan panca indera.
6. Fase dan Ciri-Ciri
Perkembangan dan Pertumbuhan
Pertumbuhan
dan perkembangan ini sudah mulai sejak bertemunya sel telur dengan sperma dalam
kandungan, lahir sampai dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan ini menyangkut
bidang jasmani dan rohani. Istilah pertumbuhan dan perkembangan, meskipun
saling melengkapi, sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Pertumbuhan
mengandung asli adanya perubahan dalam ukuran/fungsi mental-mental dan akan
tampil adanya penambahan jumlah/ukuran dari hal-hal yang telah ada, sedangkan
perkembangan mengandung makna pemunculan hal yang baru dan akan tampak adanya
sifat-sifat yang baru, berbeda dari sebelumnya.
Dalam
peristiwa pertumbuhan hanya menumbuhkan apa yang telah ada dan banyak
bergantung pada faktor luar. Sedangkan pada perkembangan telah ada suatu
potensi yang menentukan arah perkembangannya kelak, dengan demikian, yang
dikeluarkan dalam perkembangan adalah waktu dan perawatan agar potensi yang
lelah ada terealisasi.
Meskipun
demikian, antara dua peristiwa tersebut, harus ada keseimbangan yang sehat,
kalau tidak akan menimbulkan ketidak normalan/penyimpangan-penyimpangan. Selama
perkembangannya, kehidupan individu itu tidak statis melainkan dinamis, dan
pengalaman belajar harus seusai dengan sifat-sifatnya dalam masa perkembangan
tersebut.
C. Proses Berpikir
Mengenai
soal berpikir ini terdapat beberapa pendapat, diantaranya ada yang menganggap
sebagai suatu proses asosiasi saja; pandangan semacam ini dikemukakan oleh kaum
Asosiasionist. Sedangkan Kaum Fungsionalist memandang berpikir sebagai suatu
proses penguatan hubungan antara stimulus dan respons. Diantaranya ada yang
mengemukakan bahwa berpikir merupakan suatu kegiatan psikis untuk mencari
hubungan antara dua objek atau lebih. Secara sederhana, berpikir adalah
memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal,
berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari
lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi,
berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item
(Khodijah, 2006:117). Sedangkan menurut Drever (dalam Walgito, 1997 dikutip
Khodijah, 2006:117) berpikir adalah melatih ide-ide dengan cara yang tepat dan
seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Solso (1998 dalam Khodijah,
2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru
dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek
atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan
pemecahan masalah.
Dari
pengertian tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan dasar tentang berpikir,
yaitu (1) berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran
tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2) berpikir merupakan sebuah proses
yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, dan (3) berpikir
diarahkan dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan pada
solusi.Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan
konsep di dalam diri seseorang.
Perkembangan
ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara
bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa
pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada
dasarnya adalah proses psikologisKemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya.
Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki
kemampuan ini dengan tingkat yang relatif berbeda.
Ada berbagai jenis dan
tipe berpikir. Morgan dkk. (1986, dalam Khodijah, 2006: 118) membagi dua jenis
berpikir, yaitu berpikir autistik dan berpikir langsung. Berpikir autistik
(autistic thinking) yaitu proses berpikir yang sangat pribadi menggunakan
simbol-simbol dengan makna yang sangat pribadi, contohnya mimpi. Berpikir
langsung (directed thinking) yaitu berpikir untuk memecahkan masalah.
Menurut
Kartono (1996, dalam Khodijah, 2006:118) ada enam pola berpikir, yaitu:1.
Berpikir konkrit, yaitu berpikir dalam dimensi ruang, waktu, dan tempat
tertentu2. Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab
bisa dibesarkan atau disempurnakan keluasannya.3. Berpikir klasifikatoris,
yaitu berpikir menganai klasifikasi atau pengaturan menurut kelas-kelas tingkat
tertentu.4. Berpikir analogis, yatiu berpikir untuk mencari hubungan
antarperistiwa atas dasar kemiripannya.5. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam
hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai
pembuktian-pembuktian.6. Berpikir pendek, yaitu lawan berpikir ilmiah yang
terjadi secara lebih cepat, lebih dangkal dan seringkali tidak logis.Sedangkan menurut
De Bono (1989 dalam Khodijah, 2006:119) mengemukakan dua tipe berpikir, sebagai
berikut.1. Berpikir vertikal (berpikir konvergen) yaitu tipe berpikir
tradisional dan generatif yang bersifat logis dan matematis dengan mengumpulkan
dan menggunakan hanya informasi yang relevan.2. Berpikir lateral (berpikir
divergen) yaitu tipe berpikir selektif dan kreatif yang menggunakan informasi
bukan hanya untuk kepentingan berpikir tetapi juga untuk hasil dan dapat
menggunakan informasi yang tidak relevamn atau boleh salah dalam beberapa
tahapan untuk mencapai pemecahan yang tepat.
D. Proses Berpikir Manusia
Dalam Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses
penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang
diperoleh dan hasil yang diinginkan (Hunsaker, 2005). Salah satu bagian
dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making),
yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang
tersedia (Hunsaker, 2005). Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan
mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan.
Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah
ketrampilan yang dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam setiap aspek
kehidupannya. Jarang sekali seseorang tidak menghadapi masalah dalam
kehidupannya sehari-hari. Pekerjaan seorang manajer, secara khusus,
merupakan pekerjaan yang mengandung unsur pemecahan masalah di dalamnya. Bila
tidak ada masalah di dalam banyak organisasi, mungkin tidak akan muncul
kebutuhan untuk mempekerjakan para manajer. Untuk itulah sulit untuk dapat
diterima bila seorang yang tidak memiliki kompetensi untuk menyelesaikan
masalah, menjadi seorang manajer (Whetten & Cameron, 2002).
Ungkapan di atas memberikan gambaran yang jelas kepada
kita semua bahwa sulit untuk menghindarkan diri kita dari masalah, karena
masalah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita, baik
kehidupan sosial, maupun kehidupan profesional kita. Untuk itulah penguasaan
atas metode pemecahan masalah menjadi sangat penting, agar kita terhindar dari
tindakan Jump to conclusion, yaitu proses penarikan kesimpulan terhadap
suatu masalah tanpa melalui proses analisa masalah secara benar, serta didukung
oleh bukti-bukti atau informasi yang akurat. Ada kecenderungan bahwa
orang-orang, termasuk para manajer mempunyai kecenderungan alamiah untuk
memilih solusi pertama yang masuk akal yang muncul dalam benak mereka (March
& Simon, 1958; March, 1994; Koopman, Broekhuijsen, & Weirdsma, 1998).
Sayangnya, pilihan pertama yang mereka ambil seringkali bukanlah solusi
terbaik. Secara tipikal, dalam pemecahan masalah, kebanyakan orang
menerapkan solusi yang kurang dapat diterima atau kurang memuaskan, dibanding
solusi yang optimal atau yang ideal (Whetten & Cameron, 2002). Pemecahan
masalah yang tidak optimal ini, bukan tidak mungkin dapat memunculkan masalah
baru yang lebih rumit dibandingkan dengan masalah awal.
Pemecahan masalah dapat dilakukan melalui dua metode yang
berbeda, yaitu analitis dan kreatif. Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih
baik tentang pemecahan masalah secara analitis dan kreatif, serta
perbedaan-perbedaan yang ada diantara keduanya, maka pada bagian berikut , saya
akan menjelaskan secara singkat hal tersebut di atas.
1.
Pemecahan
Masalah Secara Analitis
Metode
penyelesaian masalah secara analitis merupakan pendekatan yang cukup terkenal
dan digunakan oleh banyak perusahaan, serta menjadi inti dari gerakan
peningkatan kualitas (quality improvement). Secara luas dapat diterima
bahwa untuk meningkatan kualitas individu dan organisasi, langkah penting yang
perlu dilakukan adalah mempelajari dan menerapkan metode pemecahan masalah
secara analitis (Juran, 1988; Ichikawa, 1986; Riley, 1998). Banyak
organisasi besar (misalnya : Ford Motor Company, General Electric, Dana)
menghabiskan jutaan Dolar untuk mendidik para manajer mereka tentang metode
pemecahan masalah ini sebagai bagian dari proses peningkatan kualitas yang ada
di organisasi mereka (Whetten & Cameron, 2002). Pelatihan ini penting agar
para manajer dapat berfungsi efektif, yang salah satu cirinya adalah pada
kemampuannya untuk memecahkan masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat
dari Hunsaker (2005) yang menyatakan bahwa manajer yang efektif, seperti halnya
Pemimpin Eksekutif Porsche, Wendelin Wiedeking, mengetahui cara mengumpulkan
dan mengevaluasi informasi yang dapat menerangkan tentang masalah yang terjadi,
mengetahui manfaatnya bila kita memiliki lebih dari satu alternatif pemecahan
masalah, dan memberikan bobot kepada semua implikasi yang dapat terjadi dari
sebuah rencana, sebelum menerapkan rencana yang bersangkutan.
2. Definisikan Masalah
Langkah
pertama yang perlu dilakukan dengan metode analitis adalah mendefinisikan
masalah yang terjadi. Pada tahap ini, kita perlu melakukan diagnosis terhadap
sebuah situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian kita pada
masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang muncul. Sebagai contoh :
Seorang manajer yang mempunyai masalah dengan staf-nya yang kerapkali tidak
dapat menyelesaikan pekerjaannya pada waktu yang telah ditentukan. Masalah ini
bisa terjadi karena, cara kerja yang lambat dari staf yang bersangkutan. Cara
kerja yang lambat, bisa saja hanya sebuah gejala dari permasalahan yang lebih
mendasar lagi, seperti misalnya masalah kesehatan, moral kerja yang rendah,
kurangnya pelatihan atau kurang efektifnya proses kepemimpinan yang ada.
Agar kita
dapat memfokuskan perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada
gejala-gejala yang muncul, maka dalam proses mendefiniskan suatu masalah,
diperlukan upaya untuk mencari informasi yang diperlukan sebanyak-banyaknya,
agar masalah dapat didefinisikan dengan tepat.
Berikut ini
adalah beberapa karakteristik dari pendefinisian masalah yang baik:
a.
Fakta dipisahkan dari
opini atau spekulasi. Data objektif dipisahkan dari persepsi
b.
Semua pihak yang
terlibat diperlakukan sebagai sumber informasi
c.
Masalah harus
dinyatakan secara eksplisit/tegas. Hal ini seringkali dapat menghindarkan kita
dari pembuatan definisi yang tidak jelas
d. Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas adanya ketidak-sesuaian
antara standar atau harapan yang telah ditetapkan sebelumnya dan
kenyataan yang terjadi.
e.
Definisi yang
dibuat harus menyatakan dengan jelas, pihak-pihak yang terkait atau
berkepentingan dengan terjadinya masalah.
Definisi yang
dibuat bukanlah seperti sebuah solusi yang samar. Contoh: Masalah yang kita
hadapi adalah melatih staf yang bekerja lamban.
3. Buat Alternatif Pemecahan Masalah.
Langkah kedua yang perlu kita lakukan adalah membuat
alternatif penyelesaian masalah. Pada tahap ini, kita diharapkan dapat menunda
untuk memilih hanya satu solusi, sebelum alternatif solusi-solusi yang ada
diusulkan. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan
pemecahan masalah (contohnya oleh March, 1999) mendukung pandangan bahwa
kualitas solusi-solusi yang dihasilkan akan lebih baik bila mempertimbangkan
berbagai alternatif (Whetten & Cameron, 2002).
Berikut adalah
karakteristik-karakteristik dari pembuatan alternatif masalah yang baik:
a.
Semua alternatif
yang ada sebaiknya diusulkan dan dikemukakan terlebih dahulu sebelum kemudian
dilakukannya evaluasi terhadap mereka.
b.
Alternatif-alternatif
yang ada, diusulkan oleh semua orang yang terlibat dalam penyelesaian masalah.
Semakin banyaknya orang yang mengusulkan alternatif, dapat meningkatkan
kualitas solusi dan penerimaaan kelompok.
c.
Alternatif-alternatif
yang diusulkan harus sejalan dengan tujuan atau kebijakan organisasi. Kritik
dapat menjadi penghambat baik terhadap proses organisasi maupun proses
pembuatan alternatif pemecahan masalah.
d.
Alternatif-alternatif
yang diusulkan perlu mempertimbangkan konsekuensi yang muncul dalam jangka
pendek, maupun jangka panjang.
e.
Alternatif–alternatif
yang ada saling melengkapi satu dengan lainnya. Gagasan yang kurang menarik ,
bisa menjadi gagasan yang menarik bila dikombinasikan dengan gagasan-gagasan
lainnya. Contoh : Pengurangan jumlah tenaga kerja, namun kepada karyawan yang
terkena dampak diberikan paket kompensasi yang menarik.
f.
Alternatif-alternatif
yang diusulkan harus dapat menyelesaikan masalah yang telah didefinisikan
dengan baik. Masalah lainnya yang muncul, mungkin juga penting. Namun dapat
diabaikan bila, tidak secara langsung mempengaruhi pemecahan masalah utama yang
sedang terjadi.
4. Evaluasi Alternatif-Alternatif Pemecahan Masalah
Langkah ketiga dalam proses pemecahan masalah adalah
melakukan evaluasi terhadap alternatif-alternatif yang diusulkan atau tersedia.
Dalam tahap ini , kita perlu berhati-hati dalam memberikan bobot terhadap
keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif yang ada, sebelum membuat
pilihan akhir. Seorang yang terampil dalam melakukan pemecahan masalah,
akan memastikan bahwa dalam memilih alternatif-alternatif yang ada dinilai
berdasarkan:
a.
Tingkat
kemungkinannya untuk dapat menyelesaikan masalah tanpa menyebabkan terjadinya
masalah lain yang tidak diperkirakan sebelumnya.
b.
Tingkat penerimaan
dari semua orang yang terlibat di dalamnya
c.
Tingkat kemungkinan
penerapannya
d.
Tingkat kesesuaiannya
dengan batasan-batasan yang ada di dalam organisasi; misalnya budget, kebijakan
perusahaan, dll.
Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari evaluasi
alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baik:
a.
Alternatif-
alternatif yang ada dinilai secara relatif berdasarkan suatu standar yang
optimal, dan bukan sekedar standar yang memuaskan
b.
penilaian terhadap
alternative-alternatif yang ada dilakukan secara sistematis, sehingga semua
alternatif yang diusulkan akan dipertimbangkan,
c. Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan
tujuan organisasi dan mempertimbangkan preferensi dari orang-orang yang
terlibat didalamnya.
d. Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan dampak yang mungkin
ditimbulkannya, baik secara langsung, maupun tidak langsung
e.
Alternatif yang
paling dipilih dinyatakan secara eksplisit/tegas.
5.
Terapkan
Solusi dan Tindak- Lanjuti
Langkah terakhir dari metode ini adalah menerapkan dan
menindak-lanjuti solusi yang telah diambil. Dalam upaya menerapkan berbagai
solusi terhadap suatu masalah, kita perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan
terjadinya resistensi dari orang-orang yang mungkin terkena dampak dari
penerapan tersebut. Hampir pada semua perubahan, terjadi resistensi. Karena
itulah seorang yang piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara
hati-hati memilih strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan
terhadap solusi pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan
kemungkinan penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten &
Cameron, 2002).
Berikut adalah
karakteristik dari penerapan dan langkah tindak lanjut yang efektif:
a.
Penerapan solusi
dilakukan pada saat yang tepat dan dalam urutan yang benar. Penerapan tidak
mengabaikan faktor-faktor yang membatasi dan tidak akan terjadi sebelum tahap
1, 2, dan 3 dalam proses pemecahan masalah dilakukan.
b.
Penerapan solusi
dilakukan dengan menggunakan strategi “sedikit-demi sedikit” dengan tujuan
untuk meminimalkan terjadinya resistensi dan meningkatkan dukungan.
c.
Proses penerapan
solusi meliputi juga proses pemberian umpan balik. Berhasil tidaknya penerapan
solusi, harus dikomunikasikan , sehingga terjadi proses pertukaran
informasi
d.
Keterlibatan dari
orang-orang yang akan terkena dampak dari penerapan solusi dianjurkan dengan
tujuan untuk membangun dukungan dan komitmen
e.
Adanya sistim
monitoring yang dapat memantau penerapan solusi secara berkesinambungan. Dampak
jangka pendek, maupun jangka panjang diukur.
Penilaian terhadap keberhasilan penerapan solusi
didasarkan atas terselesaikannya masalah yang dihadapi, bukan karena adanya
manfaat lain yang diperoleh dengan adanya penerapan solusi ini. Sebuah solusi
tidak dapat dianggap berhasil bila masalah yang menjadi pertimbangan yang utama
tidak terselesaikan dengan baik, walaupun mungkin muncul dampak positif
lainnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Jiwa adalah bagian yang bukan
jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran
dan kepribadian dan sinonimous dengan roh, akal, atau awak diri. Di dalam teologi,
jiwa dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama
mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda
mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme.
Berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari
lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi,
berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item.
Pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses
penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang
diperoleh dan hasil yang diinginkan. Salah satu bagian dari proses pemecahan
masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang
didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang
tersedia. Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas
hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan.
B.
Saran
Perkembangan
jiwa manusia berpengaruh pada proses berpikir sehingga makin baik kondisi
kejiwaan seseorang maka cara berpikirnya akan lebih baik pula. Pola pikir yang
baik akan membantu seseorang dalam memecahkan suatu masalah. Pengambilan
keputusan atas alternatif-altertanatif pilihan yang dihasilkan oleh proses
berpikir dalam menyelesaikan sebuah masalah sangat tepat jika didorong oleh
cara berpikir yang baik dari kondisi jiwa yang tenang.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muhammad (1976), Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan
Rohaniah Manusia, Jakarta
: Bulan Bintang.
Khodijah, Nyayu.
2006. Psikologi Belajar. Palembang:
IAIN Raden Fatah Press
Suriasumantri
(ed), 1983. Psikologi Pendidikan.
Suryabarata,
Sumadi. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Wagito, Bimo.
1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta:
Andi Offset.
Whiterington.
1982. Psikologi Pendidikan. Diakses dari http://www.andragogi.com
Rochmah, Elfi Yuliana (2005), Psikologi Perkembangan, Ponorogo :
Teras.
Fauzi, Ahmad (2004), Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia.
Yusuf, Syamsu (2004), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : Rosda.
Kartono, Kartini (1995), Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Bandung : Mandar Maju.
Sukmadinata, Nana Syaodih (2003), Landasan Psikologi Proses
Pendidikan, Bandung
: Rosda.
Soesilowindradini (tt), Psikologi Perkembangan (Masa Remaja), Surabaya : Usaha.
Singgah (2002), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta ; BPK Gunung Mulia
TUGAS MAKALAH
GEJALA UMUM KEJIWAAN DAN PROSES BERPIKIR
DALAM PEMECAHAN MASALAH
![]() |
OLEH :
NAMA : ARDI LIZET
NIM : 1314040950
JURUSAN :TADRIS MATEMATIKA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AVICENNA
PADANG
2014
