A L

ardhi.lizet@yahoo.com @ardhi_lizet ardhi.lizet@gmail.com

Kamis, 24 April 2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Persoalan roh menjadi sebuah teka-teki bagi manusia; sejak dari masa sebelum Al-masih, masalah jiwa manusia atau roh ini menjadi bahan pembahasan pokok dalam dunia filosofi. Dimulai dari masa Socrates, Plato, Aristoteles, sampai Neo-Platonik, manusia berusaha untuk menerka apa dan bagaimana hakikat dari roh itu? Apakah itu riil ada atau hanya sebuah kiasan kata yang tidak mempunyai bentuk makna sama sekali.
 Adalah Socrates yang beranggapan bahwa badan manusia adalah alat dari jiwa manusia yang diibaratkan dengan kapal dan nahkodanya: nahkodanya adalah jiwa dan kapalnya badan, dan badan tidak lebih dari sekedar alat bahkan dianggap sebagai penjara bagi jiwa, karena dengan adanya jiwa dalam tubuh itu membuat jiwa tidak bebas bergerak dan berfikir. Alasan inilah yang menyebabkan dia tidak menolak atau lari dari hukuman yang dijatuhkan kepadanya untuk minum racun, dan ia malah menyambutnya dengan senang hati karena ia akan terlepas dari penjara badan dan akan bebas untuk berfikir.
Plato adalah murid dari Socrates yang memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Socrates, dia menganggap bahwa dunia ini dan segala yang ada hanyalah bayangan dari sebuah alam, alam lain, yang terpisah dari alam ini, yang disebut alam ideal (alam hakiki), dan segala yang ada di alam ini adalah semu. Dengan demikian badan kita bukanlah badan sebenarnya, menurut dia, karena masih ada alam lain yang merupakan alam sebenarnya.
Datang setelah Plato, sebuah aliran baru yang bernama aliran Aristoteles, yang lebih rasionalis dan mengembalikan pikiran manusia dari dunia khayal atau dunia langit ke bumi, karena dia memandang segala sesuatu atas apa yang terjadi atau fakta, dia tidak meyakini akan adanya alam ideal, dan ia menganggapnya ia hanyalah sebuah istilah yang tidak ada dalam realita. maka diapun beranggapan bahwa jiwa itu mati setelah badannya mati.
Demikian asumsi-asumsi atau pandangan para pendahulu filosof tentang jiwa manusia. Dan pikiran inilah yang pertama kali menjadi perbincangan para pendahulu Eropa yang mengambil pemikiran filsafat Yunani dari terjemahan dan karangan bangsa Muslim Arab, terutama Ibnu Rusydi (Averroes) dan Ibnu Sina (Avicenna) yang masuk Eropa lewat Andalusia (Spanyol) ketika masa ekspansi Islam yang dilakukan oleh Daulah Umawiyah yang terkenal dengan masa kejayaan Islam dengan budaya ilmiyahnya dan melahirkan banyak tokoh berpengaruh dalam permulaan pengembangan ilmu pengetahuan Eropa yang sebelumnya sempat macet selama berada dalam masa kegelapan, dan ilmu pengetahuan hanya terbatas pada kaum gereja.
Terdapatlah sebuah gerakan terkenal dengan nama Averroeism di Eropa, yang beraliran Aristotelian, disamping yang dibawa oleh St. Thomas Equinas. Diantara pengikut dan pembela Averroism ini adalah Seagar Baraban; dia beranggapan bahwa jiwa itu ikut mati dengan matinya jasad, dan dia beranggapan bahwa balasan perbuatan manusia tidak harus di akhirat, bisa terjadi di dunia; namun demikian, dia tidak sampai berpendapat sebagaimana John Scout Eurigiena yang beranggapan bahwa siksa dan pahala itu adalah perasaan yang kita rasakan di dunia ini: perasaan menyesal dan tersiksa ketika kita melakukan kesalahan, dan perasaan senang dan bahagia ketika melakukan kebaikan.
Namun, perdebatan tentang asal usul roh dan jiwa ini mengalami masa surut dan hampir terhapus, tepatnya menjelang memasuki abad 14. dimulai dari munculnya seorang filosof yang bernama William Okam yang mengkritik pendapat St. Thomas Aquinas dan kaum Skolastik tentang bukti adanya Tuhan dan yang sejenisnya, dia tidak mempercayai kecuali apa yang ada dan bisa disaksikan, dia menganggap bahwa jiwa manusia tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Dengan demikian dia tidak mempercayai adanya jiwa atau roh manusia maupun kekelannya untuk mendapatkan pembalasan atas apa yang telah dilakukan.

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah gejala umum kejiwaan manusia dan proses berpikir manusia dalam pemecahan masalah.

C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui gejala umum kejiwaan manusia dan proses berpikir manusia dalam pemecahan masalah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Jiwa Manusia
Dalam berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonimous dengan roh, akal, atau awak diri. Di dalam teologi, jiwa dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme.
Penggunaan istilah jiwa dan roh seringkali sama, meskipun kata yang pertama lebih sering berhubungan dengan keduniaan dibandingkan kata yang kedua. Jiwa dan psyche bisa juga digunakan secara sinonimous, meskipun psyche lebih berkonotasi fisik, sedangkan jiwa berhubungan dekat dengan metafisik dan agama. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jiwa memiliki arti roh manusia (yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup); nyawa.

B.    Gejala Umum Kejiwaan Manusia
Manusia diciptakan oleh Allah SWT melalui fase-fase pertumbuhan dan perkembangan, yang dalam prosesnya mengalami interaksi (saling mempengaruhi) antara kemampuan dasar (pembawaan) dengan kemampuan yang diperoleh (hasil belajar/pengaruh lingkungan). Terdapat perbedaan pendapat dalam pengertian pertumbuhan perkembangan pertumbuhan diartikan ahli biologi sebagai suatu penambahan dalam ukuran bentuk, berat atau ukuran dimensi tubuh, perkembangan dimaksudkan untuk menunjukkan perubahan-perubahan dalam bentuk atau bagian tubuh dan integrasi berbagai bagiannya ke dalam suatu kesatuan fungsional, bila pertumbuhan itu berlangsung.
Langfeld dan boring, menggunakan pengairan kematangan untuk pertumbuhan, sedang, perkembangan, diterapkan pada baik sebelum tingkah laku yang tidak dipelajari itu terjadi, maupun sebelum terjadinya proses belajar dari tingkah laku yang khusus. Istilah “kematangan” mencakup didalamnya pengertian pertumbuhan dan perkembangan, maka seseorang telah dianggap “matang”, apabila fisik dan psikisnya masalah pertumbuhan dan perkembangan, telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan sampai pada tingkat-tingkat tertentu.
Sedangkan istilah “perkembangan” adalah berhubungan erat dengan pertumbuhan maupun kemampuan-kemampuan pembawaan dari tingkah laku yang pekat terhadap rangsangan-rangsangan sekitar.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pertumbuhan berkenaan dengan penyempurnaan, sedangkan perkembangan dengan penyempurnaan fungsi. Baik pada pertumbuhan maupun pada perkembangan tersangkut pula perihal kematangan yang merupakan masa yang terbaik bagi berfungsinya/perkembangannya dengan cepat aspek “kepribadian tertentu”. Pada proses perkembangan manusia, perubahan meliputi beberapa aspek baik fisik maupun psikis, perubahan tersebut dapat dibagi menjadi empat kategori utama, yaitu: 1) perubahan dalam ukuran, 2) perubahan dalam perbandingan, 3) berubah untuk mengganti hal-hal yang lam, 4) berubah untuk memperoleh hal-hal yang baru.
1.     Perkembangan Jiwa Manusia
Di dalam psikologi, proses sensasi dan persepsi berbeda sensasi ialah penerimaan stimulus melalui ialah indera, sedangkan persepsi adalah menafsirkan stimulus yang telah ada dalam otak. Sensasi tanpa persepsi/sensasi murni jarang terjadi sensasi murni mungkin terjadi dalam peristiwa dimana rangsang warna ditunjukkan untuk pertama kali kepada seseorang yang sejak lahirnya buta dan tiba-tiba dapat melihat. Pada bayi yang baru lahir, bayangan-bayangan yang sampai ke otak masih bercampur aduk, sehingga belum dapat membedakan benda-benda dengan jelas. Makin besar anak itu makin baiklah struktur susunan syarat otaknya sehingga mampu mengenali obyek satu persatu.
2.     Belajar dan Berfikir
Belajar adalah suatu proses dimana suatu tingkah laku ditimbulkan atau diperbaiki melalui serentetan reaksi atas situasi/rangsang yang terjadi. Pada manusia proses belajar tidak hanya menyangkut aktifitas berfikir saja, tetapi terutama menyangkut kegiatan otak, yaitu berfikir. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prose belajar yaitu;
a.      Waktu istirahat, dalam waktu istirahat sebaiknya tidak banyak melakukan kegiatan yang mengganggu pikiran,
b.      Pengetahuan tentang materi yang dipelajari secara menyeluruh. Untuk melakukan hal ini diperlukan taraf kecerdasan yang relatif tinggi.
c.      Pengertian terhadap materi yang dipelajari, tanpa pengertian kita akan mendapat kesulitan.
d.     Pengetahuan akan prestasi sendiri. Pengetahuan dan prestasi sendiri akan mempercepat kita dalam mempelajari sesuatu.
3.     Transfer
Transfers dapat bersifat positif. Jika hal yang lalu mempermudah proses belajar yang sekarang/dapat juga bersifat negatif jika proses belajar yang lalu justru mempersulit proses belajar yang sekarang. Sudah dikatakan diatas, bahwa proses belajar pada manusia erat sekali hubungannya dengan proses berfikir, yaitu tingkah laku yang menggunakan ide. Macam-macam kegiatan berfikir dapat kita golongkan sebagai berikut :
a.      Berfikir asosiasi, yaitu proses berfikir dimana suatu ide merangsang timbulnya ide lain secara bebas
b.      Berfikir terarah yaitu berfikir yang sudah ditentukan sebelumnya dan diarahkan pada pemecahan suatu masalah. Kesimpulan seseorang berfikir bukan saja dengan otaknya, tetapi dengan seluruh tubuhnya.
4.     Mengingat
Ingatan adalah bukti bahwa seseorang telah belajar, semua orang mengingat banyak hal setiap harinya, tingkah laku manusia dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu yang di ingatnya karena itu, mengingat dapat didefinisikan sebagai pengetahuan sekarang tentang pengalaman masa lampau. Mengingat dapat terjadi dalam beberapa bentuk :
a.      Rekognisi adalah mengingat sesuatu apabila sesuatu itu dikembangkan pada indera.
b.      Redall adalah apabila kita sadar bahwa kita telah mengalami sesuatu dimasa lampau tanpa mengenakan pada indera kita
c.      Reproduksi adalah mengingat dengan cukup tepat untuk memproduksi bahan yang pernah dipelajari.
d.     Performance adalah mengingat kebiasaan,-kebiasaan yang sangat otomatis.
Untuk melakukan semua itu pertama-tama kita harus memperoleh materinya yang merupakan langkah utama dalam keseluruhan proses yang bertitik puncak pada mengingat.
5.     Emosi
Menurut English and English, emosi adalah “A com plex feeling state accompanied by characteristic motor dan glandular act ivies” (suatu keadaan perasaan yang kompleks ang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). Emosi merupakan warna efektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu, baik pada tingkat yang lemah maupun tingkat yang kuat. Warna efektif pada seseorang mempengaruhi pula pandangan orang tersebut terhadap obyek atau situasi di sekelilingnya ia dapat menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Emosi dapat dikelompokkan keadaan 2 bagian, yaitu:
a.      Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh
b.      Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, meliputi: perasaan intelektual, perasaan sosial, perasaan susila, perasaan keindahan, perasaan ketuhanan
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologi mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a.      Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologi lainnya seperti pengamatan dan berfikir
b.      Bersifat fluktuatif (tidak tetap)
c.      Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
6.     Fase dan Ciri-Ciri Perkembangan dan Pertumbuhan
Pertumbuhan dan perkembangan ini sudah mulai sejak bertemunya sel telur dengan sperma dalam kandungan, lahir sampai dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan ini menyangkut bidang jasmani dan rohani. Istilah pertumbuhan dan perkembangan, meskipun saling melengkapi, sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Pertumbuhan mengandung asli adanya perubahan dalam ukuran/fungsi mental-mental dan akan tampil adanya penambahan jumlah/ukuran dari hal-hal yang telah ada, sedangkan perkembangan mengandung makna pemunculan hal yang baru dan akan tampak adanya sifat-sifat yang baru, berbeda dari sebelumnya.
Dalam peristiwa pertumbuhan hanya menumbuhkan apa yang telah ada dan banyak bergantung pada faktor luar. Sedangkan pada perkembangan telah ada suatu potensi yang menentukan arah perkembangannya kelak, dengan demikian, yang dikeluarkan dalam perkembangan adalah waktu dan perawatan agar potensi yang lelah ada terealisasi.
Meskipun demikian, antara dua peristiwa tersebut, harus ada keseimbangan yang sehat, kalau tidak akan menimbulkan ketidak normalan/penyimpangan-penyimpangan. Selama perkembangannya, kehidupan individu itu tidak statis melainkan dinamis, dan pengalaman belajar harus seusai dengan sifat-sifatnya dalam masa perkembangan tersebut.

C.    Proses Berpikir
Mengenai soal berpikir ini terdapat beberapa pendapat, diantaranya ada yang menganggap sebagai suatu proses asosiasi saja; pandangan semacam ini dikemukakan oleh kaum Asosiasionist. Sedangkan Kaum Fungsionalist memandang berpikir sebagai suatu proses penguatan hubungan antara stimulus dan respons. Diantaranya ada yang mengemukakan bahwa berpikir merupakan suatu kegiatan psikis untuk mencari hubungan antara dua objek atau lebih. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117). Sedangkan menurut Drever (dalam Walgito, 1997 dikutip Khodijah, 2006:117) berpikir adalah melatih ide-ide dengan cara yang tepat dan seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Solso (1998 dalam Khodijah, 2006:117) berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah.
Dari pengertian tersebut tampak bahwa ada tiga pandangan dasar tentang berpikir, yaitu (1) berpikir adalah kognitif, yaitu timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku, (2) berpikir merupakan sebuah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, dan (3) berpikir diarahkan dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah atau diarahkan pada solusi.Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep di dalam diri seseorang.
Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologisKemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang relatif berbeda.
Ada berbagai jenis dan tipe berpikir. Morgan dkk. (1986, dalam Khodijah, 2006: 118) membagi dua jenis berpikir, yaitu berpikir autistik dan berpikir langsung. Berpikir autistik (autistic thinking) yaitu proses berpikir yang sangat pribadi menggunakan simbol-simbol dengan makna yang sangat pribadi, contohnya mimpi. Berpikir langsung (directed thinking) yaitu berpikir untuk memecahkan masalah.
Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah, 2006:118) ada enam pola berpikir, yaitu:1. Berpikir konkrit, yaitu berpikir dalam dimensi ruang, waktu, dan tempat tertentu2. Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa dibesarkan atau disempurnakan keluasannya.3. Berpikir klasifikatoris, yaitu berpikir menganai klasifikasi atau pengaturan menurut kelas-kelas tingkat tertentu.4. Berpikir analogis, yatiu berpikir untuk mencari hubungan antarperistiwa atas dasar kemiripannya.5. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.6. Berpikir pendek, yaitu lawan berpikir ilmiah yang terjadi secara lebih cepat, lebih dangkal dan seringkali tidak logis.Sedangkan menurut De Bono (1989 dalam Khodijah, 2006:119) mengemukakan dua tipe berpikir, sebagai berikut.1. Berpikir vertikal (berpikir konvergen) yaitu tipe berpikir tradisional dan generatif yang bersifat logis dan matematis dengan mengumpulkan dan menggunakan hanya informasi yang relevan.2. Berpikir lateral (berpikir divergen) yaitu tipe berpikir selektif dan kreatif yang menggunakan informasi bukan hanya untuk kepentingan berpikir tetapi juga untuk hasil dan dapat menggunakan informasi yang tidak relevamn atau boleh salah dalam beberapa tahapan untuk mencapai pemecahan yang tepat.

D.    Proses Berpikir Manusia Dalam Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan (Hunsaker, 2005).  Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia (Hunsaker, 2005). Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan. 
Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah ketrampilan yang dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam setiap aspek kehidupannya. Jarang sekali seseorang tidak menghadapi masalah dalam kehidupannya sehari-hari. Pekerjaan seorang manajer, secara khusus,  merupakan pekerjaan yang mengandung unsur pemecahan masalah di dalamnya. Bila tidak ada masalah di dalam banyak organisasi, mungkin tidak akan muncul kebutuhan untuk mempekerjakan para manajer. Untuk itulah sulit untuk dapat diterima bila seorang yang tidak memiliki kompetensi untuk menyelesaikan masalah, menjadi seorang manajer (Whetten & Cameron, 2002). 
Ungkapan di atas memberikan gambaran yang jelas kepada kita semua bahwa sulit untuk menghindarkan diri kita dari masalah, karena masalah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita, baik kehidupan sosial, maupun kehidupan profesional kita. Untuk itulah penguasaan atas metode pemecahan masalah menjadi sangat penting, agar kita terhindar dari tindakan Jump to conclusion, yaitu proses penarikan kesimpulan terhadap suatu masalah tanpa melalui proses analisa masalah secara benar, serta didukung oleh bukti-bukti atau informasi yang akurat. Ada kecenderungan bahwa orang-orang, termasuk para manajer mempunyai kecenderungan alamiah untuk memilih solusi pertama yang masuk akal yang muncul dalam benak mereka (March & Simon, 1958; March, 1994; Koopman, Broekhuijsen, & Weirdsma, 1998). Sayangnya, pilihan pertama yang mereka ambil seringkali bukanlah solusi terbaik.  Secara tipikal, dalam pemecahan masalah, kebanyakan orang menerapkan solusi yang kurang dapat diterima atau kurang memuaskan, dibanding solusi yang optimal atau yang ideal (Whetten & Cameron, 2002). Pemecahan masalah yang tidak optimal ini, bukan tidak mungkin dapat memunculkan masalah baru yang lebih rumit dibandingkan dengan masalah awal.
Pemecahan masalah dapat dilakukan melalui dua metode yang berbeda, yaitu analitis dan kreatif. Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang pemecahan masalah secara analitis dan kreatif, serta perbedaan-perbedaan yang ada diantara keduanya, maka pada bagian berikut , saya akan  menjelaskan secara singkat hal tersebut di atas. 
1.     Pemecahan Masalah Secara Analitis
Metode penyelesaian masalah secara analitis merupakan pendekatan yang cukup terkenal dan digunakan oleh banyak perusahaan, serta menjadi inti dari gerakan peningkatan kualitas (quality improvement). Secara luas dapat diterima bahwa untuk meningkatan kualitas individu dan organisasi, langkah penting yang perlu dilakukan adalah mempelajari dan menerapkan metode pemecahan masalah secara analitis (Juran, 1988; Ichikawa, 1986; Riley, 1998).  Banyak organisasi besar (misalnya : Ford Motor Company, General Electric, Dana) menghabiskan jutaan Dolar untuk mendidik para manajer mereka tentang metode pemecahan masalah ini sebagai bagian dari proses peningkatan kualitas yang ada di organisasi mereka (Whetten & Cameron, 2002). Pelatihan ini penting agar para manajer dapat berfungsi efektif, yang salah satu cirinya adalah pada kemampuannya untuk memecahkan masalah.  Hal ini sejalan dengan pendapat dari Hunsaker (2005) yang menyatakan bahwa manajer yang efektif, seperti halnya Pemimpin Eksekutif Porsche, Wendelin Wiedeking, mengetahui cara mengumpulkan dan mengevaluasi informasi yang dapat menerangkan tentang masalah yang terjadi, mengetahui manfaatnya bila kita memiliki lebih dari satu alternatif pemecahan masalah, dan memberikan bobot kepada semua implikasi yang dapat terjadi dari sebuah rencana, sebelum menerapkan rencana yang bersangkutan.
2.     Definisikan Masalah  
Langkah pertama yang perlu dilakukan dengan metode analitis adalah mendefinisikan masalah yang terjadi. Pada tahap ini, kita perlu melakukan diagnosis terhadap sebuah situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang muncul. Sebagai contoh : Seorang manajer yang mempunyai masalah dengan staf-nya yang kerapkali tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya pada waktu yang telah ditentukan. Masalah ini bisa terjadi karena, cara kerja yang lambat dari staf yang bersangkutan. Cara kerja yang lambat, bisa saja hanya sebuah gejala dari permasalahan yang lebih mendasar lagi, seperti misalnya masalah kesehatan, moral kerja yang rendah, kurangnya pelatihan atau kurang efektifnya proses kepemimpinan yang ada.
Agar kita dapat memfokuskan perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang muncul, maka dalam proses mendefiniskan suatu masalah, diperlukan upaya untuk mencari informasi yang diperlukan sebanyak-banyaknya, agar masalah dapat didefinisikan dengan tepat.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari pendefinisian masalah yang baik:
a.      Fakta dipisahkan dari opini atau spekulasi. Data objektif dipisahkan dari persepsi
b.      Semua pihak yang terlibat diperlakukan sebagai sumber informasi
c.      Masalah harus dinyatakan secara eksplisit/tegas. Hal ini seringkali dapat menghindarkan kita dari pembuatan definisi yang tidak jelas
d.     Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas adanya ketidak-sesuaian antara standar atau harapan yang telah ditetapkan sebelumnya  dan kenyataan yang terjadi.
e.      Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas, pihak-pihak yang terkait  atau berkepentingan dengan terjadinya masalah.
Definisi yang dibuat bukanlah seperti sebuah solusi yang samar. Contoh: Masalah yang kita hadapi adalah melatih staf yang bekerja lamban.
3.     Buat Alternatif Pemecahan Masalah.
  Langkah kedua yang perlu kita lakukan adalah membuat alternatif penyelesaian masalah. Pada tahap ini, kita diharapkan dapat menunda untuk memilih hanya satu solusi, sebelum alternatif solusi-solusi yang ada diusulkan. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dalam kaitannya dengan pemecahan masalah (contohnya oleh March, 1999) mendukung pandangan bahwa kualitas solusi-solusi yang dihasilkan akan lebih baik bila mempertimbangkan berbagai alternatif (Whetten & Cameron, 2002).
Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari pembuatan alternatif masalah yang baik:
a.      Semua alternatif yang ada sebaiknya diusulkan dan dikemukakan terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukannya evaluasi terhadap mereka.
b.      Alternatif-alternatif yang ada, diusulkan oleh semua orang yang terlibat dalam penyelesaian masalah. Semakin banyaknya orang yang mengusulkan alternatif, dapat meningkatkan kualitas solusi dan penerimaaan kelompok.
c.      Alternatif-alternatif yang diusulkan harus sejalan dengan tujuan atau kebijakan organisasi. Kritik dapat menjadi penghambat baik terhadap proses organisasi maupun proses pembuatan alternatif pemecahan masalah.
d.     Alternatif-alternatif yang diusulkan perlu mempertimbangkan konsekuensi yang muncul dalam jangka pendek, maupun jangka panjang.
e.      Alternatif–alternatif yang ada saling melengkapi satu dengan lainnya. Gagasan yang kurang menarik , bisa menjadi gagasan yang menarik bila dikombinasikan dengan gagasan-gagasan lainnya. Contoh : Pengurangan jumlah tenaga kerja, namun kepada karyawan yang terkena dampak diberikan paket kompensasi yang menarik.
f.       Alternatif-alternatif yang diusulkan harus dapat menyelesaikan masalah yang telah didefinisikan dengan baik. Masalah lainnya yang muncul, mungkin juga penting. Namun dapat diabaikan bila, tidak secara langsung mempengaruhi pemecahan masalah utama yang sedang terjadi.
4.     Evaluasi Alternatif-Alternatif Pemecahan Masalah
Langkah ketiga dalam proses pemecahan masalah adalah melakukan evaluasi terhadap alternatif-alternatif yang diusulkan atau tersedia. Dalam tahap ini , kita perlu berhati-hati dalam memberikan bobot  terhadap keuntungan dan kerugian dari masing-masing alternatif yang ada, sebelum membuat pilihan akhir.  Seorang yang terampil dalam melakukan pemecahan masalah, akan memastikan bahwa dalam memilih alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan:
a.      Tingkat kemungkinannya untuk dapat menyelesaikan masalah tanpa menyebabkan terjadinya masalah lain yang tidak diperkirakan sebelumnya.
b.      Tingkat penerimaan dari semua orang yang terlibat di dalamnya
c.      Tingkat kemungkinan penerapannya
d.     Tingkat kesesuaiannya dengan batasan-batasan yang ada di dalam organisasi; misalnya budget, kebijakan perusahaan, dll.
Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari evaluasi alternatif-alternatif  pemecahan  masalah yang baik:
a.      Alternatif- alternatif yang ada dinilai secara relatif berdasarkan suatu standar  yang optimal, dan bukan sekedar standar yang memuaskan
b.      penilaian terhadap alternative-alternatif yang ada dilakukan secara sistematis, sehingga semua alternatif yang diusulkan akan dipertimbangkan,
c.      Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan tujuan organisasi dan mempertimbangkan preferensi dari orang-orang yang terlibat didalamnya.
d.     Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan dampak yang mungkin ditimbulkannya, baik secara langsung, maupun tidak langsung
e.      Alternatif yang paling dipilih dinyatakan secara eksplisit/tegas.
5.     Terapkan Solusi dan Tindak- Lanjuti
Langkah terakhir dari metode ini adalah menerapkan dan menindak-lanjuti solusi yang telah diambil. Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap suatu masalah, kita perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan terjadinya resistensi dari orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan tersebut. Hampir pada semua perubahan, terjadi resistensi. Karena itulah seorang yang piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati memilih strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan kemungkinan penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten & Cameron, 2002).
Berikut adalah karakteristik dari penerapan dan langkah tindak lanjut yang efektif:
a.      Penerapan solusi dilakukan pada saat yang tepat dan dalam urutan yang benar. Penerapan tidak mengabaikan faktor-faktor yang membatasi dan tidak akan terjadi sebelum tahap 1, 2, dan 3 dalam proses pemecahan masalah dilakukan.
b.      Penerapan solusi dilakukan dengan menggunakan strategi “sedikit-demi sedikit” dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya resistensi dan meningkatkan dukungan.
c.      Proses penerapan solusi meliputi juga proses pemberian umpan balik. Berhasil tidaknya penerapan solusi, harus dikomunikasikan ,  sehingga terjadi proses pertukaran informasi
d.     Keterlibatan dari orang-orang yang akan terkena dampak dari penerapan solusi dianjurkan dengan tujuan untuk membangun dukungan dan komitmen
e.      Adanya sistim monitoring yang dapat memantau penerapan solusi secara berkesinambungan. Dampak jangka pendek, maupun jangka panjang diukur.
Penilaian terhadap keberhasilan penerapan solusi didasarkan atas terselesaikannya masalah yang dihadapi, bukan karena adanya manfaat lain yang diperoleh dengan adanya penerapan solusi ini. Sebuah solusi tidak dapat dianggap berhasil bila masalah yang menjadi pertimbangan yang utama tidak terselesaikan dengan baik, walaupun mungkin muncul dampak positif lainnya.


BAB  III
PENUTUP

A.    Simpulan
Jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonimous dengan roh, akal, atau awak diri. Di dalam teologi, jiwa dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme. Berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item.
Pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan. Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan. 


B.    Saran
Perkembangan jiwa manusia berpengaruh pada proses berpikir sehingga makin baik kondisi kejiwaan seseorang maka cara berpikirnya akan lebih baik pula. Pola pikir yang baik akan membantu seseorang dalam memecahkan suatu masalah. Pengambilan keputusan atas alternatif-altertanatif pilihan yang dihasilkan oleh proses berpikir dalam menyelesaikan sebuah masalah sangat tepat jika didorong oleh cara berpikir yang baik dari kondisi jiwa yang tenang.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muhammad (1976), Psikologi dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniah Manusia, Jakarta : Bulan Bintang.

Khodijah, Nyayu. 2006. Psikologi Belajar. Palembang: IAIN Raden Fatah Press

Suriasumantri (ed), 1983. Psikologi Pendidikan.

Suryabarata, Sumadi. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Wagito, Bimo. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.

Whiterington. 1982. Psikologi Pendidikan. Diakses dari http://www.andragogi.com

Rochmah, Elfi Yuliana (2005), Psikologi Perkembangan, Ponorogo : Teras.

Fauzi, Ahmad (2004), Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia.

Yusuf, Syamsu (2004), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung : Rosda.

Kartono, Kartini (1995), Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), Bandung : Mandar Maju.

Sukmadinata, Nana Syaodih (2003), Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung : Rosda.

Soesilowindradini (tt), Psikologi Perkembangan (Masa Remaja), Surabaya : Usaha.

Singgah (2002), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta ; BPK Gunung Mulia

TUGAS MAKALAH


GEJALA UMUM KEJIWAAN DAN PROSES BERPIKIR DALAM PEMECAHAN MASALAH




 











OLEH :

NAMA      :  ARDI LIZET
NIM           : 1314040950
JURUSAN     :TADRIS MATEMATIKA




PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AVICENNA
PADANG
2014